Allah menurunkan Al Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi manusia. Agar
tujuan ini bisa terealisasi, Al Qur’an tidak bisa hanya sekedar
dijadikan pajangan. Sayangnya justru perbuatan ini yang banyak dilakukan
manusia. Salah satunya melalui apa yang dinamakan seni kaligrafi.
Bila kita bertandang ke rumah saudara ataupun kenalan, sering kita
dapati kaligrafi yang bertuliskan ayat-ayat Al Qur’an, hadits-hadits
nabawiyyah ataupun Al-Asmaul Husna. Kaligrafi yang dibuat seindah
mungkin ini, sehingga kadang sulit dibaca, biasanya digantung di dinding
atau menjadi pajangan di atas meja dan almari, apakah berbentuk ukiran,
pahatan ataupun lukisan. Tidak terbatas hanya dalam rumah, kaligrafi
juga kita dapatkan sebagai penghias masjid-masjid, tempat pertemuan
kaum muslimin, dan sebagainya. Bahkan penulisan kaligrafi ayat-ayat Al
Qur’an dijadikan sebagai ajang lomba dalam MTQ dan semisalnya.
Saking lazimnya, banyak di antara kaum muslimin yang merasa belum sreg bila tidak memajang kaligrafi dalam rumah ataupun majelis mereka. Seolah hal ini sebagai ciri keislaman yang membedakan dari rumah dan majelis non muslim. Bahkan mungkin ada di antara mereka yang merasa bahwa perbuatan seperti ini merupakan satu bentuk ibadah kepada Allah I.
Terhadap fenomena yang ada ini, kita katakan kepada saudara kita kaum muslimin: Allah I telah menyempurnakan agama-Nya, sebagaimana Dia nyatakan dalam Tanzil-Nya:
Saking lazimnya, banyak di antara kaum muslimin yang merasa belum sreg bila tidak memajang kaligrafi dalam rumah ataupun majelis mereka. Seolah hal ini sebagai ciri keislaman yang membedakan dari rumah dan majelis non muslim. Bahkan mungkin ada di antara mereka yang merasa bahwa perbuatan seperti ini merupakan satu bentuk ibadah kepada Allah I.
Terhadap fenomena yang ada ini, kita katakan kepada saudara kita kaum muslimin: Allah I telah menyempurnakan agama-Nya, sebagaimana Dia nyatakan dalam Tanzil-Nya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan
telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai
agama kalian”. (Al-Maidah: 3)
Karena agama ini telah sempurna, maka tidak butuh lagi terhadap penambahan dan tidak pula pengurangan. Rasulullah r sebagai pengemban risalah dari Allah telah amanah dalam menyampaikan seluruh risalah Islam ini, tanpa kecuali.
Karena agama ini telah sempurna, maka tidak butuh lagi terhadap penambahan dan tidak pula pengurangan. Rasulullah r sebagai pengemban risalah dari Allah telah amanah dalam menyampaikan seluruh risalah Islam ini, tanpa kecuali.
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Nabi r terus menerus menegakkan
perintah Allah, orang yang ingin memalingkan (beliau) tidak dapat
memalingkan. Beliau juga menyeru kepada Allah tanpa ada seorang pun yang
dapat merintangi, sampai akhirnya menjadi terang benderang bumi ini
dengan risalah yang beliau bawa setelah sebelumnya dalam keadaan gelap
gulita. Menjadi jinaklah (bersatu) hati-hati manusia setelah sebelumnya
bercerai berai. Dan berjalanlah dakwah beliau seperti perjalanan mentari
di penjuru langit hingga sampailah agamanya sebagaimana sampainya malam
dan siang…”. (Miftah Daris Sa’adah, 1/105)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab t berkata dalam kitabnya Al-Ushuluts Tsalatsah mengatakan: “Tidak ada satu kebaikan pun melainkan telah Rasulullah r tunjukkan kepada umatnya dan tidak ada satu kejelekan pun kecuali telah beliau peringatkan umat darinya.”
Menjadikan Al Qur’an dan hadits nabawi sebagai hiasan dalam bentuk kaligrafi, sama sekali tidak ada contohnya dari Rasulullah r, tidak pernah dikenal dan dilakukan oleh para shahabat beliau dan tidak pula oleh orang-orang sesudah mereka dari kalangan para imam yang diberi petunjuk, semoga Allah meridhai dan merahmati mereka semua. Seandainya perbuatan tersebut baik, pasti Rasulullah r telah menganjurkannya dan para shahabat, sebagai manusia yang paling bersemangat dalam melakukan kebaikan, pasti telah mendahului kita dalam berbuat demikian.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab t berkata dalam kitabnya Al-Ushuluts Tsalatsah mengatakan: “Tidak ada satu kebaikan pun melainkan telah Rasulullah r tunjukkan kepada umatnya dan tidak ada satu kejelekan pun kecuali telah beliau peringatkan umat darinya.”
Menjadikan Al Qur’an dan hadits nabawi sebagai hiasan dalam bentuk kaligrafi, sama sekali tidak ada contohnya dari Rasulullah r, tidak pernah dikenal dan dilakukan oleh para shahabat beliau dan tidak pula oleh orang-orang sesudah mereka dari kalangan para imam yang diberi petunjuk, semoga Allah meridhai dan merahmati mereka semua. Seandainya perbuatan tersebut baik, pasti Rasulullah r telah menganjurkannya dan para shahabat, sebagai manusia yang paling bersemangat dalam melakukan kebaikan, pasti telah mendahului kita dalam berbuat demikian.
Untuk memperjelas permasalahan ini, kami nukilkan secara ringkas untuk pembaca fatwa ulama berikut ini:
Allah I telah menurunkan Al Qur’an dengan sifat yang Dia nyatakan dalam ayat-ayat berikut ini:
Allah I telah menurunkan Al Qur’an dengan sifat yang Dia nyatakan dalam ayat-ayat berikut ini:
“Wahai sekalian manusia, sungguh telah datang kepada kalian nasehat
(pelajaran) dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang
ada di dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
(Yunus: 57)
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an sesuatu yang menjadi penyembuh
(obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al Qur’an itu
tidaklah menambah bagi orang-orang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra:
82)
Allah pun mengutus Nabi-Nya r untuk menjelaskan Al Qur’an dan merinci hukum-hukum yang ada dalamnya agar manusia menjadikan ajaran beliau sebagai bimbingan dalam memahami Kitabullah. Allah nyatakan hal ini dalam firman-Nya:
Allah pun mengutus Nabi-Nya r untuk menjelaskan Al Qur’an dan merinci hukum-hukum yang ada dalamnya agar manusia menjadikan ajaran beliau sebagai bimbingan dalam memahami Kitabullah. Allah nyatakan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Qur’an agar engkau
menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka,
mudah-mudahan mereka mau berfikir.” (An-Nahl: 44)
Allah I memerintahkan Nabi-Nya untuk mendakwahkan Islam dan Nabi-Nya r pun menjalankan dengan sebaik-baiknya. Beliau berdakwah di hadapan para shahabatnya, memberikan nasehat dan peringatan. Beliau mengirim surat kepada para raja dan para pembesar, di samping mendatangi secara langsung orang-orang kafir di majelis mereka untuk mengajak kepada Islam. Dari seluruh perjalanan hidup beliau r, tidak pernah diketahui beliau menulis satu surat dari Al Qur’an, atau satu ayat darinya ataupun sebuah hadits atau nama-nama Allah pada lembaran-lembaran atau piringan-piringan untuk digantung di dinding dan di tempat lainnya, dengan tujuan menjadikan sebagai hiasan atau untuk tabarruk (mencari berkah) ataupun dengan maksud sebagai perantara untuk mengingatkan, menasehati dan pelajaran bagi yang melihat dan membacanya.
Allah I memerintahkan Nabi-Nya untuk mendakwahkan Islam dan Nabi-Nya r pun menjalankan dengan sebaik-baiknya. Beliau berdakwah di hadapan para shahabatnya, memberikan nasehat dan peringatan. Beliau mengirim surat kepada para raja dan para pembesar, di samping mendatangi secara langsung orang-orang kafir di majelis mereka untuk mengajak kepada Islam. Dari seluruh perjalanan hidup beliau r, tidak pernah diketahui beliau menulis satu surat dari Al Qur’an, atau satu ayat darinya ataupun sebuah hadits atau nama-nama Allah pada lembaran-lembaran atau piringan-piringan untuk digantung di dinding dan di tempat lainnya, dengan tujuan menjadikan sebagai hiasan atau untuk tabarruk (mencari berkah) ataupun dengan maksud sebagai perantara untuk mengingatkan, menasehati dan pelajaran bagi yang melihat dan membacanya.
Sepeninggal beliau r, para Al-Khulafa Ar-Rasyidun berpegang dengan
petunjuk beliau, demikian pula para shahabat yang lain dan para imam
setelah mereka yang dikabarkan oleh Rasulullah r sebagai sebaik-baik
generasi. Sama sekali tidak pernah diketahui mereka menulis sesuatu dari
Al Qur’an, hadits-hadits nabawiyyah ataupun Al-Asmaul Husna pada
lembaran, piringan ataupun pada kain untuk digantung sebagai hiasan di
dinding, atau digantung dengan tujuan sebagai peringatan. Padahal mereka
adalah orang yang paling paham akan Islam dan paling bersemangat
terhadap kebaikan. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah
mendahului kita dalam mengamalkannya.
Dengan begitu, jelaslah bagi kita bahwa membuat dan memasang kaligrafi dari ayat Al Qur’an, hadits ataupun Al-Asmaul Husna, dengan tujuan apapun adalah perbuatan yang menyelisihi petunjuk Rasulullah r, para shahabat dan para imam salaf g.
Betapa kita saksikan, surat ataupun ayat Al Qur’an yang dipajang itu tidak diagungkan dengan semestinya. Terkadang bila telah usang terbuang begitu saja, terinjak oleh kaki dan tersia-siakan. Padahal seorang muslim harus mengagungkan Kitabullah dan juga Sunnah Nabi r yang shahih, menjadikannya sebagai menara dan pedoman hidup. Dan pengagungannya bukan dengan dipajang sedemikian rupa, namun semestinya Al Qur’an itu dibaca, dipikirkan, dipelajari, dipahami dan ditelaah keterangannya dari Sunnah Nabi r. Lalu berusaha diamalkan dalam ibadah dan muamalah. Dengan begitu akan tercurah barakah Allah dan terlimpah pahala-Nya, yang hal ini tidak akan didapatkan oleh mereka yang hanya menjadikannya sebagai pajangan.
Satu hal yang patut pula menjadi perhatian bahwa memasang kaligrafi ini merupakan satu bentuk tasyabbuh (meniru) perbuatan orang-orang kuffar dari kalangan Nasrani yang biasa memajang salib di rumah dan majelis mereka untuk membedakan mereka dengan kaum muslimin. Atau seperti orang-orang Hindu yang memiliki kebiasaan menggantung dupa di rumah mereka. Wallahu ta‘ala a‘am bish-shawab.
Dengan begitu, jelaslah bagi kita bahwa membuat dan memasang kaligrafi dari ayat Al Qur’an, hadits ataupun Al-Asmaul Husna, dengan tujuan apapun adalah perbuatan yang menyelisihi petunjuk Rasulullah r, para shahabat dan para imam salaf g.
Betapa kita saksikan, surat ataupun ayat Al Qur’an yang dipajang itu tidak diagungkan dengan semestinya. Terkadang bila telah usang terbuang begitu saja, terinjak oleh kaki dan tersia-siakan. Padahal seorang muslim harus mengagungkan Kitabullah dan juga Sunnah Nabi r yang shahih, menjadikannya sebagai menara dan pedoman hidup. Dan pengagungannya bukan dengan dipajang sedemikian rupa, namun semestinya Al Qur’an itu dibaca, dipikirkan, dipelajari, dipahami dan ditelaah keterangannya dari Sunnah Nabi r. Lalu berusaha diamalkan dalam ibadah dan muamalah. Dengan begitu akan tercurah barakah Allah dan terlimpah pahala-Nya, yang hal ini tidak akan didapatkan oleh mereka yang hanya menjadikannya sebagai pajangan.
Satu hal yang patut pula menjadi perhatian bahwa memasang kaligrafi ini merupakan satu bentuk tasyabbuh (meniru) perbuatan orang-orang kuffar dari kalangan Nasrani yang biasa memajang salib di rumah dan majelis mereka untuk membedakan mereka dengan kaum muslimin. Atau seperti orang-orang Hindu yang memiliki kebiasaan menggantung dupa di rumah mereka. Wallahu ta‘ala a‘am bish-shawab.
Demikian ringkasan dari fatwa Lajnah Al-Fatawa fi Riasah Idarat
Al-Buhuts wal Ifta wad Da’wah wal Irsyad, yang ketika itu masih diketuai
oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz t dengan wakil beliau Asy-Syaikh Abdurrazzaq
’Afifi.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t dalam salah satu khutbahnya di Masjid Al-Jami‘ul Kabir di ‘Unaizah (1404 H) juga pernah menyinggung masalah ini. Di antaranya beliau katakan:
“Sebagian besar manusia biasa menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al Qur’an di majelis mereka. Aku tidak tahu mengapa mereka melakukan hal tersebut. Bila mereka melakukannya dalam rangka ibadah kepada Allah, maka hal seperti ini adalah kebid’ahan yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulu kita yang shalih. Lalu apakah mereka melakukannya dalam rangka memuliakan Al Qur’an? Maka kita katakan tidak ada yang lebih memuliakan Al Qur’an daripada para shahabat Rasulullah r dan tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Namun sungguh tidak pernah didapatkan mereka ini menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al Qur’an.
Apakah mereka menggantungnya dalam rangka menolak kejelekan dan gangguan setan? Jika demikian, maka perbuatan demikian bukanlah perantara untuk menolak hal tersebut, namun justru dengan membacanya akan diperoleh penjagaan tersebut seperti membaca ayat Kursi1 ketika hendak tidur maka akan diperoleh penjagaan dari Allah dan setan tidak akan mendekat sampai ia berada di pagi hari2.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t dalam salah satu khutbahnya di Masjid Al-Jami‘ul Kabir di ‘Unaizah (1404 H) juga pernah menyinggung masalah ini. Di antaranya beliau katakan:
“Sebagian besar manusia biasa menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al Qur’an di majelis mereka. Aku tidak tahu mengapa mereka melakukan hal tersebut. Bila mereka melakukannya dalam rangka ibadah kepada Allah, maka hal seperti ini adalah kebid’ahan yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulu kita yang shalih. Lalu apakah mereka melakukannya dalam rangka memuliakan Al Qur’an? Maka kita katakan tidak ada yang lebih memuliakan Al Qur’an daripada para shahabat Rasulullah r dan tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Namun sungguh tidak pernah didapatkan mereka ini menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al Qur’an.
Apakah mereka menggantungnya dalam rangka menolak kejelekan dan gangguan setan? Jika demikian, maka perbuatan demikian bukanlah perantara untuk menolak hal tersebut, namun justru dengan membacanya akan diperoleh penjagaan tersebut seperti membaca ayat Kursi1 ketika hendak tidur maka akan diperoleh penjagaan dari Allah dan setan tidak akan mendekat sampai ia berada di pagi hari2.
Sesungguhnya cara untuk ber-tabarruk dengan Al Qur’an adalah membacanya
dengan sebenar-benar bacaan, melafadzkan dengan lisan, mengimani dengan
hati dan mengamalkan dengan anggota badan sebagaimana Allah I berfirman:
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka
membacanya dengan bacan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya.
Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya maka mereka itulah orang-orang
yang merugi”. (Al-Baqarah: 121)
Demikianlah jalan kaum mukminin yakni dengan membaca Kitabullah, bukan dengan menggantungnya.
Demikianlah jalan kaum mukminin yakni dengan membaca Kitabullah, bukan dengan menggantungnya.
Adakah mereka yang menggantung kaligrafi bertuliskan ayat Al Qur’an itu
menginginkan untuk memperingatkan manusia terhadap Al Qur’an? Ternyata
dalam prakteknya, tujuan ini tidaklah tercapai. Engkau bisa menyaksikan
mereka yang ada di majelis itu tidak ada yang mendongakkan kepalanya
untuk membaca tulisan tersebut, atau ada beberapa gelintir orang yang
membacanya namun tidak memikirkan apa yang terkandung di dalamnya.
Ataukah mereka yang berbuat demikian tidak bermaksud apa-apa kecuali sekedar menjadikan kaligrafi itu sebagai hiasan? Maka sesungguhnya tidaklah pantas Al Qur’an itu dijadikan sebagai sesuatu yang bernilai sia-sia, sekedar untuk keindahan pandangan mata. Al Qur’an terlalu mulia kedudukannya daripada hanya sekedar dijadikan hiasan.
Ataukah mereka yang berbuat demikian tidak bermaksud apa-apa kecuali sekedar menjadikan kaligrafi itu sebagai hiasan? Maka sesungguhnya tidaklah pantas Al Qur’an itu dijadikan sebagai sesuatu yang bernilai sia-sia, sekedar untuk keindahan pandangan mata. Al Qur’an terlalu mulia kedudukannya daripada hanya sekedar dijadikan hiasan.
Kemudian, kita dapati di majelis yang padanya ada kaligrafi Al Qur’an,
terkadang dibicarakan di situ perkara laghwi (sia-sia), bahkan
terkadang ada ghibah, dusta dan caci maki. Terkadang ada alunan musik
dan nyanyian yang haram. Maka perbuatan seperti ini jelas merupakan
pelecehan terhadap Kitabullah karena digantungkan di atas kepala hadirin
yang sedang tenggelam dalam kemaksiatan kepada Allah.
Karena itu aku menyeru kepada segenap saudaraku agar melepaskan
kaligrafi yang ada di rumah-rumah dan majelis mereka karena hal itu
tidak pantas untuk dilakukan.
Satu hal pula yang harus dijauhi adalah menulis Al Qur’an dengan bentuk yang samar/ tidak jelas sehingga sulit dibaca atau bisa keliru ketika membacanya, karena ingin menonjolkan nilai seni semata. Padahal Al Qur’an bukanlah untuk dijadikan hiasan dan lukisan/ ukiran. Siapa yang padanya ada tulisan demikian hendaklah ia membakarnya atau menghapusnya agar ayat-ayat Allah tidak dijadikan sebagai bahan permainan dan olok-olok.
Satu hal pula yang harus dijauhi adalah menulis Al Qur’an dengan bentuk yang samar/ tidak jelas sehingga sulit dibaca atau bisa keliru ketika membacanya, karena ingin menonjolkan nilai seni semata. Padahal Al Qur’an bukanlah untuk dijadikan hiasan dan lukisan/ ukiran. Siapa yang padanya ada tulisan demikian hendaklah ia membakarnya atau menghapusnya agar ayat-ayat Allah tidak dijadikan sebagai bahan permainan dan olok-olok.
Wajib bagi kita untuk memuliakan Kitabullah dan menjadikannya sesuai
tujuan diturunkannya. Ia adalah nasehat, obat penyembuh bagi penyakit
yang ada di dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman. Tidaklah ia diturunkan untuk dipajang dan dijadikan bagian dari
seni lukis, ukir dan pahat. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.“
Demikian fatwa beliau secara ringkas. Semoga kita diberi taufik untuk senantiasa berpegang dengan al-haq.
Demikian fatwa beliau secara ringkas. Semoga kita diberi taufik untuk senantiasa berpegang dengan al-haq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar