Headline News

Tanggal 17 Mei 2015, Majelis Fityatul Mustahibbin akan mengadakan Walimah Tasmiyah dalam rangka memperingati hari Isra Mi'raj 2015.. Semangat Kawan!!!!

Senin, 23 Juli 2012

Diam yang menyelamatkan


Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang diam maka dia akan selamat.” (HR. Ahmad [6481] sanadnya disahihkan Syaikh Ahmad Syakir, lihat al-Musnad [6/36] dan disahihkan pula oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 21-22 Bab Najatul Insan bi ash-Shamti wa Hifzhi al-Lisan)
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan segala perkara yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [10])
Dari Abu Musa radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa para Sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Islam manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [11] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [42])
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” Maknanya adalah orang yang tidak menyakiti seorang muslim, baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Disebutkannya tangan secara khusus dikarenakan sebagian besar perbuatan dilakukan dengannya.” (lihat Syarh Muslim [2/93] cet. Dar Ibnu al-Haistam)
Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Maksud hadits ini adalah bahwa kaum muslimin yang paling utama adalah orang yang selain menunaikan hak-hak Allah ta’ala dengan baik maka dia pun menunaikan hak-hak sesama kaum muslimin dengan baik pula.” (lihat Fath al-Bari [1/69] cet. Dar al-Hadits)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Tidak ada di atas muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh untuk dipenjara dalam waktu yang lama selain lisan.” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir [9/162], disahihkan sanadnya oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 26)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan dihukum akibat segala yang kami ucapkan?”. Beliau pun menjawab, “Ibumu telah kehilangan engkau wahai Mu’adz bin Jabal! Bukankah yang menjerumuskan umat manusia tersungkur ke dalam Jahannam di atas hidungnya tidak lain adalah karena buah kejahatan lisan mereka?!” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir [20/127-128], disahihkan sanadnya oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 27)
al-Laits bin Sa’ad rahimahullah menceritakan: Suatu ketika orang-orang melewati seorang rahib/ahli ibadah. Lantas mereka pun memanggilnya, tetapi dia tidak menjawab seruan mereka. Kemudian mereka pun mengulanginya dan memanggilnya kembali. Namun dia tetap tidak memenuhi panggilan mereka. Maka mereka pun berkata, “Mengapa kamu tidak mau berbicara dengan kami?”. Maka dia pun keluar menemui mereka dan berkata, “Aduhai orang-orang itu! Sesungguhnya lisanku adalah hewan buas. Aku khawatir jika aku melepaskannya dia akan memangsa diriku.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 32)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Sekarang ini bukanlah masa untuk banyak berbicara. Ini adalah masa untuk lebih banyak diam dan menetapi rumah.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 37)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah juga berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain maka sungguh dia telah terpedaya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 38)
Sebagian orang bijak mengatakan dalam syairnya:
Kita mencela masa, padahal aib itu ada dalam diri kita
Tidaklah ada aib di masa kita kecuali kita
Kita mencerca masa, padahal dia tak berdosa
Seandainya masa bicara, niscaya dia lah yang ‘kan mencerca kita
Agama kita adalah pura-pura dan riya’ belaka
Kita kelabui orang-orang yang melihat kita
(lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 41)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan terjadi berbagai fitnah (kekacauan dan permusuhan). Pada saat itu, orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan. Orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Barangsiapa yang menceburkan diri ke dalamnya niscaya dia akan ditelan olehnya. Dan barangsiapa yang mendapatkan tempat perlindungan hendaklah dia berlindung dengannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Fitan [7081] dan Muslim dalam Kitab al-Fitan [2886])
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini berisi peringatan keras supaya menjauh dari fitnah dan anjuran untuk tidak turut campur di dalamnya, sedangkan tingkat keburukan yang dialaminya tergantung pada sejauh mana keterkaitan dirinya dengan fitnah itu.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)
Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Pendapat yang tepat adalah fitnah di sini pada asalnya bermakna ujian/cobaan. Adapun mengingkari kemungkaran adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang mampu melakukannya. Barangsiapa yang membantu pihak yang benar maka dia telah bersikap benar, dan barangsiapa yang membela pihak yang salah maka dia telah keliru.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)
Thawus menceritakan: Tatkala terjadi fitnah terhadap ‘Utsman radhiyallahu’anhu, ada seorang lelaki arab yang berkata kepada keluarganya, “Aku telah gila, maka ikatlah diriku”. Maka mereka pun mengikatnya. Ketika fitnah itu telah reda, dia pun berkata kepada mereka, “Lepaskanlah ikatanku. Segala puji bagi Allah yang telah menyembuhkanku dari kegilaan dan telah menyelamatkan diriku dari turut campur dalam fitnah/pembunuhan ‘Utsman.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [11/450] sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 46)
al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda bahwa Allah mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 62). Wallahul musta’an. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Minggu, 22 Juli 2012

Do`a Shalat Witir

اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ إِيْمَانًا دَائِمًا، وَنَسْأَلُكَ قَلْبًا خَاشِعًا، وَنَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَنَسْأَلُكَ يَقِيْنًا صَادِقًا، وَنَسْأَلُكَ عَمَلاً صَالِحًا، وَنَسْأَلُكَ دِيْنًا قَيِّمًا، وَنَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، وَنَسْأَلُكَ تَمَامَ الْعَافِيَةِ، وَنَسْأَلُكَ الشُّكْرَ عَلَى الْعَافِيَةِ، وَنَسْأَلُكَ الْغِنَى عَنِ النَّاسِ.

اَللَّهُمَّ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وصِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَتَخَشُّعَنَا وَتَضَرُّعَنَا وَتَعَبُّدَنَا، وَتَمِّمْ تَقْصِيْرَنَا يَا اَللَّهُ، يَا اَللَّهُ، يَا اَللَّهُ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Jumat, 20 Juli 2012

Doa Kamilin (Setelah tarawih)

بسم الله الرحمن الرحيم
أَللّهُمَّ اجْعَلْنَا بِاْلإِيْمَانِ كَامِلِيْن. وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْن. وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْن. وِلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْن. وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْن. وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْن. وَبِالْهُدى مُتَمَسِّكِيْن. وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْن. وَفِي الدُّنْيَا زَاهِدِيْن. وَفِي اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْن. وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْن. وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْن. وَعَلىَ الْبَلاَءِ صَابِرِيْن. وَتَحْتَ لِوَاءِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ علَيْهِ وَسَلَّم يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْن. وَإِلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْن. وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْن. وَمِنَ النَّارِنَاجِيْن. وَعَلى سَرِيْرِالْكَرَامَةِ قَاعِدِيْن. وَمِنْ حُوْرٍ عِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْن. وَمِنْ سُنْدُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ وَّدِيْبَاجٍ مُّتَلَبِّسِيْن. وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ اكِلِيْن. وَمِنْ لَبَنٍ وَّعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْن. بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِنْ مَعِيْن. مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْن. وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا. ذَالِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفى بِاللهِ عَلِيْمًا.أَللّهُمَّ اجْعَلْنَا فِيْ لَيْلَةِ هذَاالشَّهْرِالشَّرِيْفَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْن. وَلاَ تَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْن. وَصَلَى اللهُ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلى الِه وَصَحْبِه أَجْمَعِيْنَ. بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن. وَ الْحَمْدُلِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Gaya Hidup Muslim Masa Kini



Roda kehidupan menggelending begitu dasyat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah merubah “wajah” kehidupan manusia di muka bumi. Begitupun dengan pola hidup kehidupan muslim saat ini telah mengalami pergeseran menuju kehidupan yang lebih moden dan lebih maju

Ada dua hal yang umumnya dicari oleh manusia dalam hidup ini. Yang pertama ialah kebaikan (al-khair), dan yang kedua ialah kebahagiaan (as-sa’adah). Hanya saja setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda-beda ketika memahami hakikat keduanya. Perbedaan inilah yang mendasari munculnya bermacam ragam gaya hidup manusia.

Tentu bagi seorang muslim sudah menjadi kewajiban bahwa gaya hidup yang dilakukannya harus islami Gaya hidup islami berarti menjalani kehidupan dengan tata cara yang telah digariskan oleh islam yang tertuang dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Bergaya hidup Islami hukumnya wajib atas setiap Muslim, lawan dari gaya hidup islami adalah gaya hidup jahili dan hukumnya adalah haram.

Namun realita saat ini berkata lain, kita sering melihat kenyataan banyak dari orang-orang muslim yang bergaya hidup “kebarat-baratan”. Hal ini membuat kita sangat prihatin dan sangat menyesal, sebab justru gaya hidup jahili (yang diharamkan) itulah yang melingkupi sebagian besar umat Islam. Fenomena ini persis seperti yang pernah disinyalir oleh Rasulullah Saw. Beliau bersabda yang artinya: “Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku mengikuti jejak umat beberapa abad sebelumnya, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta”. Ada orang yang bertanya, “Ya Rasulullah, mengikuti orang Persia dan Romawi?” Jawab Beliau, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah z, shahih).

Hadits tersebut menggambarkan suatu zaman di mana sebagian besar umat Islam telah kehilangan kepribadian Islamnya karena jiwa mereka telah terisi oleh jenis kepribadian yang lain. Mereka kehilangan gaya hidup yang hakiki karena telah mengadopsi gaya hidup jenis lain. Kiranya tak ada kehilangan yang patut ditangisi selain dari kehilangan kepribadian dan gaya hidup Islami. Sebab apalah artinya mengaku sebagai orang Islam kalau gaya hidup tak lagi Islami malah persis seperti orang kafir? Inilah bencana kepribadian yang paling besar.

Larangan mengikuti / Menyerupai gaya hidup .
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu hasan). Menurut hadits tersebut orang yang gaya hidupnya menyerupai umat yang lain (tasyabbuh) hakikatnya telah menjadi seperti mereka.

Al-Munawi menambahkan bahwa tasyabuh atau menyerupai suatu kaum artinya secara lahir berpakaian seperti pakaian mereka, berlaku/ berbuat mengikuti gaya mereka dalam pakaian dan adat istiadat mereka”.

Satu di antara berbagai bentuk tasyabbuh yang sudah membudaya dan mengakar di masyarakat kita adalah pakaian Muslimah. Mungkin kita boleh bersenang hati bila melihat berbagai mode busana Muslimah telah mulai bersaing dengan mode-mode busana jahiliyah. Hanya saja masih sering kita menjumpai busana Muslimah yang tidak memenuhi standar seperti yang dikehendaki syari’at.

Busana-busana itu masih mengadopsi mode ekspose aurat sebagai ciri pakaian jahiliyah. Adapun yang lebih memprihatinkan lagi adalah busana wanita kita pada umumnya, yang mayoritas beragama Islam ini, nyaris tak kita jumpai mode pakaian umum tersebut yang tidak mengekspose aurat. Kalau tidak memper-tontonkan aurat karena terbuka, maka ekspose itu dengan menonjolkan keketatan pakaian. Bahkan malah ada yang lengkap dengan dua bentuk itu; mempertontonkan dan menonjolkan aurat. Belum lagi kejahilan ini secara otomatis dilengkapi dengan tingkah laku yang -kata mereka- selaras dengan mode pakaian itu. Na’udzubillahi min dzalik.

Tentu dengan melihat realita seperti ini maka tidak ada alasan bagi kita untuk tinggal diam. Sebab di luar sana sudah nyaris seluruh aspek kehidupan umat bertasyabbuh kepada orang-orang kafir yang jelas-jelas bergaya hidup jahili.

Krisis yang terjadi di Indonesia beberapa tahun yang lalu sampai saat ini, bukan saja krisis moneter tapi juga krisis kepercayaan terhadap agama Islam oleh penganutnya sendiri. Krisis kepercayaan terhadap kebenaran Islam sebagai agama universal dan paripurna tidak dapat dipungkiri telah melanda banyak orang yang mengaku dirinya beragama Islam. Ini terbukti dengan gaya hidup mereka yang dilihat secara lahiriyah masih ada saja kesamaan dengan gaya hidup orang-orang yang nonMuslim.

Boleh jadi semua itu akibat ketidaktahuan atau ketidak fahaman. Namun ketidak tahuan itu adalah akibat bahwa kebanyakan kaum muslimin telah kehilangan kepercayaan terhadap Islam, sehingga mereka cenderung mengabaikan ajaran-ajarannya. Mempelajari ilmu-ilmu Islam dianggap ketinggalan jaman.Banyak orang Islam, bahkan kalangan akademik yang beranggapan mempelajari ilmu-ilmu Islam tanpa dicampur dengan teori-teori ilmu barat, suatu kemunduran. Tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan seterusnya. Bukankah itu krisis kepercayaan terhadap Islam?

Maka sudah saatnya kita tersadar dengan fenomena-fenomena yang terjadi pada saat ini. Back to Al-Quran and As-Sunnah adalah jawaban dari semua itu, sebab keduanya (Al-Quran dan As-Sunnah) adalah panduan gaya hidup seorang muslim kapanpun dan dimanapun

Rabu, 18 Juli 2012

Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Bada’i al-Fawa’id [3/743], “Tatkala mata telah mengalami kekeringan disebabkan tidak pernah menangis karena takut kepada Allah ta’ala, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya keringnya mata itu adalah bersumber dari kerasnya hati. Hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa kepada Allah agar terlindung dari hati yang tidak khusyu’, sebagaimana terdapat dalam hadits, “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari hawa nafsu yang tidak pernah merasa kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim [2722]).
Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu’anhu, dia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu? Apakah keselamatan itu?”. Maka Nabi menjawab, “Tahanlah lisanmu, hendaknya rumah terasa luas untukmu, dan tangisilah kesalahan-kesalahanmu.” (HR. Tirmidzi [2406], dia mengatakan; hadits hasan. Hadits ini disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib [2741]).
Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah mengatakan [al-Bidayah wa an-Nihayah, 10/256], “Segala sesuatu memiliki ciri, sedangkan ciri orang yang dibiarkan binasa adalah tidak bisa menangis karena takut kepada Allah.”
Di antara sebab kerasnya hati adalah :
* Berlebihan dalam berbicara
* Melakukan kemaksiatan atau tidak menunaikan kewajiban
* Terlalu banyak tertawa
* Terlalu banyak makan
* Banyak berbuat dosa
* Berteman dengan orang-orang yang jelek agamanya

Agar hati yang keras menjadi lembut
Disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim di dalam al-Wabil as-Shayyib [hal.99] bahwa suatu ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada Hasan al-Bashri, “Wahai Abu Sa’id! Aku mengadu kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Maka Beliau menjawab, “Lembutkanlah hatimu dengan berdzikir.”
Sebab-sebab agar hati menjadi lembut dan mudah menangis karena Allah antara lain :
* Mengenal Allah melalui nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya
* Membaca al-Qur’an dan merenungi kandungan maknanya
* Banyak berdzikir kepada Allah
* Memperbanyak ketaatan
* Mengingat kematian, menyaksikan orang yang sedang di ambang kematian atau melihat jenazah orang
* Mengkonsumsi makanan yang halal
* Menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat
* Sering mendengarkan nasehat
* Mengingat kengerian hari kiamat, sedikitnya bekal kita dan merasa takut kepada Allah
* Meneteskan air mata ketika berziarah kubur
* Mengambil pelajaran dari kejadian di dunia seperti melihat api lalu teringat akan neraka
* Berdoa
* Memaksa diri agar bisa menangis di kala sendiri
[diringkas dari al-Buka' min Khas-yatillah, hal. 18-33 karya Ihsan bin Muhammad al-'Utaibi]

Tidak mengamalkan ilmu, sebab hati menjadi keras
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Disebabkan tindakan (ahli kitab) membatalkan ikatan perjanjian mereka, maka Kami pun melaknat mereka, dan Kami jadikan keras hati mereka. Mereka menyelewengkan kata-kata (ayat-ayat) dari tempat (makna) yang semestinya, dan mereka juga telah melupakan sebagian besar peringatan yang diberikan kepadanya.” (QS. Al-Maa’idah : 13).
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa kerasnya hati ini termasuk hukuman paling parah yang menimpa manusia (akibat dosanya). Ayat-ayat dan peringatan tidak lagi bermanfaat baginya. Dia tidak merasa takut melakukan kejelekan, dan tidak terpacu melakukan kebaikan, sehingga petunjuk (ilmu) yang sampai kepadanya bukannya menambah baik justru semakin menambah buruk keadaannya (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 225)

Mengenali Diri Sendiri







Pertanyaan tentang siapa diri kita; siapa aku; yang mana jati diri kita sesungguhnya adalah pertanyaan-pertanyaan klasik yang telah menyita perhatian banyak para filosof. Pernyataan tersebut adalah sesuatu yang penting untuk kita lontarkan. Hal itu karena menyangkut tentang eksistensi kita sebagai seorang manusia. Bagaimana mungkin orang hidup bertahun-tahun tetapi tidak mengenal siapa dirinya sesungguhnya?
Dalam sebuah kalam hikmah terkenal --yang banyak disalahartikan sebagai hadis Nabi Muhammad—diungkapkan man ‘arafa nafsah, faqad ‘arafa rabbah. Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhan. Dengan kata lain yang dibalik, siapa yang ingin mengenal Tuhan, maka kenalilah dirinya terlebih dahulu.
Lantas siapa diri kita sebenarnya. Jika “aku” adalah dikaitkan dengan jasad, tentu tidak tepat. Seorang Luna Maya, misalnya, bukanlah hanya terdiri wajahnya yang cantik. Meskipun wajahnya tiba-tiba tersiram air keras, dan membuat wajahnya jadi hancur berantakan, tetaplah ia dikatakan seorang manusia yang bernama Luna Maya, ia tidak berubah jadi seekor kambing. Jadi dengan demikian, jati diri seseorang tidaklah berkaitan erat dengan fisiknya.
Apakah jati diri manusia dikaitkan dengan otaknya? Hal ini juga tampaknya tidak tepat. Einstein sekalipun otaknya yang cerdas itu diambil dari jasadnya yang sudah mati, ia tetaplah seorang manusia bernama Einsten. Ia tidak berubah menjadi robot.
Apakah jati diri manusia dikaitkan dengan kedudukannya? Ah, hal itu juga tidak tepat. Soekarno tetaplah seorang manusia, meskipun kekuasaannya sebagai presiden “dirampas” oleh Soeharto dengan semana-mena melalui akal-akalan Supersemar. Meskipun Soekarno tidak lagi jadi presiden, ia tetaplah seorang manusia bernama Soekarno yang memiliki ciri khas tertentu.
Apakah jati diri manusia juga berdasarkan nama? Ah, tidak juga. Coba kita tanyakan pada Shakespeare. Ia jawab, “Apa arti sebuah nama?!” Meskipun, seorang Imam Samudera memiliki beberapa nama, misalnya, ia tetaplah merujuk kepada seseorang tertentu yang kita kenal sebagai seorang teroris Bom Bali I.
Lantas, gimana dong? Apakah manusia dikaitkan dengan nyawanya? Tampaknya ini juga kurang tepat. Seorang Nabi Muhammad meskipun nyawanya sudah tidak lagi menyatu dengan jasadnya, ia tetaplah seorang nabi yang dipuja oleh seluruh orang Islam di seantero jagad. Ia tetaplah merujuk kepada seseorang yang telah membuat sejarah besar di muka bumi yang dikemudikan dinobatkan oleh Michael H. Hart sebagai nomor satu di antara para tokoh yang pernah ada di dunia.
Apakah eksistensi manusia ditentukan pula oleh perbuatannya? Hidup adalah perbuatan, kata Sutrisno Bachir beriklan di berbagai media massa. Apa betul? Mari kita cek. Andaikan Sutrisno Bachir tidak melakukan sesuatu, misalkan ia tidak berkampanye, apakah lantas ia tidak menjadi seorang Sutrisno Bachir lagi? Tentu tidak kan. Ia tetaplah apa adanya, dengan atau tanpa berbuat sesuatu.
Mungkin, ini yang terakhir. Apakah manusia dengan hati nuraninya? Lho, hati nurani itu yang mana? Ini juga pertanyaan yang rumit. Hati nurani, menurutku pemahamanku yang ilmunya sejengkal, adalah berkaitan dengan sesuatu unsur dalam diri seseorang yang membuatnya bisa membedakan mana yang benar mana yang salah. Hati nurani adalah panduan ilahiah yang ditanamkan Tuhan dalam diri manusia. Karena itulah, Nabi Muhammad bersabda, “Ada sesuatu di dalam manusia yang jika ia baik, maka baiklah seluruh dirinya. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh dirinya. Sesuatu itu adalah hati nurani.” Nah hati nurani itulah yang harus kita pelihara dan jaga agar ia tetap terus menjadi panduan ilahiah yang senantiasa menerangi jalan hidup kita.
Ah, terus terang, aku juga masih bingung. Mari kita merenung lagi. Yang jelas, bagiku, manusia memiliki hati nurani, jasad, nyawa, nama, kedudukan tertentu, dan mampu melakukan perbuatan sendiri. Jadi manusia memang makhluk unik. Ia harus berbuat untuk kebaikan, dipandu oleh hati nuraninya. Perbuatan baik seorang manusia pasti akan membuatnya menjadi seseorang yang berharga di dunia dan akhirat. Perbuatan jahat akan membuatnya menjadi orang yang sengsara di dunia dan akhirat. Salah satu hadis Nabi yang sangat kupercayai hingga hari ini adalah, “Orang yang terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Wallahu a’lam

Renungan Puasa

Sebagaimana ibadah yang lain, seperti shalat, puasa juga memiliki sisi batin yang hanya sedikit orang yang mampu menembusnya. Pada shalat, orang yang betul-betul merasakan khusyuk pada akhirnya bisa mencapai mikraj, bertemu dengan Tuhan. Pada titik itulah, shalat tidak lagi dirasakan sebagai kewajiban rutin lahiriah yang berat dan menjemukan.
Dalam puasa, hanya sedikit orang-orang yang bisa melewati tahapan lahiriah: tidak makan, minum, dan berhubungan seksual. Puasa betul-betul menjadi sesuatu yang membuat seseorang bisa melayang-layang dengan ringannya laksana kapas. Ia tidak lagi terbelenggu oleh jerat lahiriah: lapar, haus, lemas. Ia telah menembus lapisan lahiriah dari puasa. Ia memasuki dimensi batiniah yang justru membebaskannya. Ia dengan merdeka beraktifitas tanpa direcoki oleh keinginan lahiriah seperti makan, minum, nafsu seksual, dan lain-lain.
Memang tidak mudah bagi seorang yang berpuasa untuk bisa lepas dari jerat lahiriahnya. Lagi-lagi, ia mungkin hanya tersiksa oleh lapar, haus, dan lemas. Ia tidak mampu menukik lebih dalam dengan jiwanya sehingga puasa dirasakan sebagai sesuatu kenikmatan spiritual yang tiada tara.
Namun, Allah juga Maha Tahu dengan para hamba-Nya. Ketika sebagian besar hamba-Nya hanya berhenti pada tahapan lahiriah dalam beribadah, termasuk puasa, maka ibadah mereka pun tetap diterima-Nya. Ibadah mereka mempunyai makna dan memperoleh pahala di sisi-Nya. Paling tidak, dengan lapar dan dahaga seseorang bisa merasakan betapa susahnya orang-orang papa yang sedang kesulitan rezeki. Dengan lapar dan dahaga, ia diharapkan merasakan arti solidaritas sosial.
Kita seharusnya terus menuju ke arah ibadah yang lebih baik, tidak hanya berhenti pada tahapan-tahapan lahiriah. Hal itu karena tahapan-tahapan lahiriah sering kali justru dirasakan berat dan menjemukan. Apalagi jika tidak disertai oleh keikhlasan dan keimanan kepada Tuhan, yang telah memerintahkan ibadah tersebut.

Sabtu, 14 Juli 2012