Headline News

Tanggal 17 Mei 2015, Majelis Fityatul Mustahibbin akan mengadakan Walimah Tasmiyah dalam rangka memperingati hari Isra Mi'raj 2015.. Semangat Kawan!!!!

Selasa, 09 April 2013

Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan

Allah telah menguji setiap hamba-Nya dengan ujian yang berbedabeda. Tidak ada sedikit pun dalam ujian tersebut, Allah l menzalimi mereka. Semua terjadi dan berjalan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Terjadinya, tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya, menghalanginya, mengubahnya, dan menggantikannya. Itulah ketentuan yang tidak akan berubah dan itulah sunnatullah yang tidak akan berganti.
Termasuk ujian yang bersifat menyeluruh atas para hamba-Nya adalah dunia yang indah dan hijau ini, perhiasan yang selalu dilirik, kemegahan yang senantiasa dikejar. Tahukah Anda, di belakang gemerlap dan keindahannya yang memikat, tersimpan bencana dan penipuan yang besar?
Cermati, lihat, dan belajarlah dari orang yang telah tenggelam di dalamnya. Dia mengira bahwa dunia ini diciptakan untuknya dan dia diciptakan untuk dunia. Lihat pula kemajuan yang telah diraih oleh negeri-negeri kafir, ternyata semua itu menjadi bumerang dan senjata makan tuan.
Dunia telah memikat, menjerat, membungkam, meninabobokan, dan merongrong agama seseorang. Menurut al-Imam Ibnu Qayyim, dunia itu bagaikan seorang wanita pelacur yang tidak pernah puas dengan satu suami. Dia akan mencari laki- laki yang akan berbuat baik kepada dirinya dan dia tidak menyukai seorang lelaki yang pencemburu.
Orang yang berjalan mengejar dunia bagaikan orang yang berjalan di daerah yang penuh binatang buas. Jika dia berenang ingin menggapainya, ia bagaikan orang yang mengejarnya dalam pusaran air yang penuh buaya.” (Lihat al-Fawaid karya Ibnul Qayyim hlm. 53)
Allah Subhanahuwata’ala  mencela Dunia
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiadalah kehidupan dunia selain kesenangan yang menipu.”( Al‘iI mran: 185)
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Berilah perumpamaan kepada mereka, kehidupan dunia bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit. Menjadi suburlah tumbuh-tumbuhan karenanya di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Adalah Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia,tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh lebih baik pahalanya disisi Rabbmu dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 45—46)
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
قُلْ أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيْرٍ مِّن ذَٰلِكُمْ ۚ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaituwanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yangbaik(jannah/ surga). Katakanlah,‘Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baikdari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa( kepadaA llah),pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka di karuniai) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah, dan AllahMahaMelihat akan hamba-hamba-Nya.” (AliImran: 14-15)
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya?”( al- An’am: 32)
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Sesungguhnya perumpamaan hidup dunia ini adalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi, diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai perhiasannya, serta para pemiliknya menyangka bahwa mereka sanggup menguasainya, tiba-tiba datanglah kepada mereka azab Kami diwaktu malam atau siang. KemudianKami jadikan tanaman-tanamannya laksana tanaman yang sudah disabit, seakan akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami bagi orangyang berpikir.” (Yunus: 24)
وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Tidaklah kehidupan dunia ini selain senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itu sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (al-‘Ankabut: 64)
إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Sesungguhnyajanji-janji Alla itu benar , maka janganlah kehidupan dunia menipu kalian dan jangan sekali-kali setan menipu kalian dijalan Allah.” (Luqman: 33)
Ketika membahas tafisr surat al-Fath, as-Sa’di menerangkan, “Ini adalah bentuk pendidikan kezuhudan dari Allah l kepada segenap hamba-Nya terhadap kehidupan dunia, yakni dengan memberi tahu mereka tentang hakikat dunia. Sesungguhnya dunia itu adalah main-main dan sia-sia. Main main dalam urusan badan dan sia-sia dalam urusan hati. Seorang hamba
senantiasa berada dalam kelalaian karena urusan harta, anak-anak, perhiasan, dan segala bentuk kelezatannya, baik dari sisi wanita, makanan, minuman, tempat tinggal, tempat peristirahatan, pemandangan, maupun kepemimpinan. Sia-sia dalam setiap amal yang tidak ada faedahnya. Bahkan, dia berada dalam kemalasan, kelalaian, dan kemaksiatan sampai dunianya terpenuhi dan ajalnya datang menghampiri. Hal ini menuntut orang yang berakal untuk bersikap zuhud terhadap dunia, tidak mencintainya, dan benar-benar mewaspadainya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 790)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  Mencela Dunia
Diriwayatkan dari Jabir , Rasulullah melewati sebuah pasar di daerah Awali dan orang-orang berada di sekelilingnya. Beliau melewati seekor anak kambing yang telah mati. Anak kambing itu bertelinga kecil. Beliau mengambilnya dan memegang telinganya lalu berkata, “Siapa yang mau membelinya dengan harga satu dirham?” Mereka menjawab, “Siapa di antara kami yang senang memilikinya? Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau berkata, “Apakah kalian senang memilikinya?” Mereka berkata, “Jikapun dia hidup, dia tetaplah cacat. Lantas bagaimana lagi ketika dia sudah mati?” Beliau bersabda, “Demi Allah, dunia lebih hina di hadapan Allah daripada hinanya (bangkai) ini di hadapan kalian.” (HR. Muslim no. 5257)
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ
فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا،
وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ
كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau(enak rasanya dan menyenangkan tatkala dipandang), dan sungguh Allah mengangkat kalian silih berganti dengan yang lain didunia ini, lantas Dia akan melihat apayangkalian perbuat(dengan duniaitu). Oleh karena itu, hati-hatilah kalian terhadap urusan dunia dan wanita, karena awal petaka yang menimpa Bani Israil adalah dalam halwanita.” (HR. Muslim no. 4925 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu )
وَاللهِ، مَا الدُّنْيَا فِي ا خْآلِرَةِ إِ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ
أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ-وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ
فِي الْيَمِّ-فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Demi Allah, tidaklahdunia dibandingkan dengan akhirat selain seperti seseorang yang meletakkan jarinya ini—Yahya, salah seorangperawi, mengisyaratkan dengan telunjuknya ke dalam air—hendaknya dia melihat apa yang ada dijarinya tersebut.” (HR. Muslim no. 5101 dari sahabat al- Mustaurid radhiyallahu anhu )
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Setiap umat ditimpa oleh ujian, dan ujian yang akan menimpa umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2258 dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu anhu )
عَلَى حَصِيرٍ فَقَامَ وَقَدْ  نَامَ رَسُولُ اللهِ
أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، لَوِ اتَّخَذْنَا
لَكَ وِطَاءً؟ فَقَالَ: مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي
الدُّنْيَا إِ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ
رَاحَ وَتَرَكَهَا
Rasulullah tidur diatas sebuah tikar. Tikar tersebut membekas di bagian lambung beliau. Lantas kami mengatakan,“Wahai Rasululah, bolehkah kami membuatkan kasur?” Beliau bersabda,“Tiadalah saya dengan dunia selain seperti orang yang bepergian lalu berteduh dibawah pohon kemudian dia pergi meninggalkannya.”( HR.a t-Tirmidzi no. 2299 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu )
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا
مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala dalam keadaan lapar dilepas pada sekawanan kambing akan lebih merusak dibandingkan dengan ambisi harta dan kedudukan terhadap agama seseorang.”(HR. at-Tirmidzi no. 2298 dari sahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu )
Allah Subhanawata’ala telah menyebutkan dunia pada banyak tempat dalam kitab suci- Nya dalam rangka menghinakannya, demikian pula Rasul-Nya di dalam as-Sunnah. Tentu tujuannya agar para hamba tidak tertipu dan terlena. Dalam hal menanggapi berita dari Allah Subhanahuwata’ala dan menyikapi pengutusan imam para rasul, Nabi Muhammad, manusia terbagi menjadi beberapa golongan.
1. Golongan yang acuh tak acuh terhadap peringatan tersebut. Mereka tidak mau tahu tentangnya. Yang penting, segala hasratnya terpenuhi, semua keinginannya terwujud, dan citacitanya tercapai.
2. Golongan yang mau mendengarkan berita dari Pemilik dunia ini, Yang mengatur dan Yang menciptakannya. Namun, karena dorongan hawa nafsunya yang besar, semua berita itu tidak memiliki nilai kesakralan dan keabsahan. Masuk dari telinga kanan dan keluar dari telingakiri.
3. Golongan yang mendengar,mematuhi, dan melaksanakan segala apa yang diwahyukan oleh Allah tentang dunia.
Dia berusaha mendudukkan dunia dan menjadikannya sebagai alat bantu untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah. Dia mencarinya karena melaksanakan tugas. Apabila dia mendapatkannya, dia tidak tergolong orang yang kufur. Sebaliknya, apabila tidak mendapatkannya,dia tidak tergolong orang yang putus asa. Dia mengetahui bahwa dunia ini adalah kenikmatan yang semu dan menipu.
Dunia, Sumber Malapetaka
Tidak samar lagi bagi orang yang berakal tentang bahaya dunia terhadap kehidupan manusia ketika dunia itu tidak ditundukkan untuk membantunya melakukan ketaatan kepada Allah. Dunia telah menyebabkan turunnya berbagai bentuk peringatan dari Allah .Dunia menjadi sebab hancurnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
Dunia pula yang menghancurkanpersatuan dan kesatuan umat sehingga berujung pada malapetaka kelemahan, (yang dengan sebab itu) mereka kemudian dihinakan oleh musuh Allah.Dunia telah menjadikan seseorang terhina dan menghinakan diri. Dunia telah mengobrak-abrik tatanan kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus.
Dunia telah menyebabkan hilangnya nyawa, terhinakannya kehormatan, dan hancurnya harta benda. Dunia telah menjadikan seseorang buta dari kebenaran, dia menolaknya karena dunia, menentangnya karena dunia, dan memeranginya karena dunia. Dunia telah menjadikan hati seseorang mati. Dunia adalah asal segala malapetaka.
Dunia, Sebab Utama Menolak Kebenaran
Kebenaran datang dari Allah dan tidak ada setelah kebenaran tersebut selain kesesatan. Terangnya kebenaran dan jelasnya jalan kebatilan bagi sebagian kalangan bisa menjadi tersembunyi. Bahkan, terangnya kebenaran itu akan ditolak oleh orang yang dibutakan oleh dunia. Tidak ada keraguan lagi bahwa setiap nafsu memiliki berbagai keinginan yang tercela, seperti cinta kepada dunia,
mencari ketinggian, berlomba-lomba di hadapan makhluk, mencari kedudukan, dan sebagainya. Ditambah lagi, manusia memiliki tabiat zalim dan melampaui batas. Allah  berfirman,
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat zalim dan jahil.”( al-Ahzab:7 2)
Terkadang, banyak sebab yang mendorong sifat yang tersimpan pada diri setiap manusia itu muncul. Di antaranya adalah hawa nafsu sehingga dia menolak kebenaran padahal dia mengilmuinya. Sikap ini muncul karena ia mengikuti hawa nafsu dan menuntut kemuliaannya terjaga atau ingin memperoleh sedikit dunia.
Anda bisa menemukan mereka dalam kondisi menyelisihi kebenaran, padahal mereka mengetahuinya, karena ingin memperoleh dunia. Mereka berteriak seolah-olah pembela kebenaran. Abu Wafa’ Ali bin ‘Aqil al-Hambali berkata, “Cinta kepada pamor dan condong kepada dunia, berbanggabangga, bermegah-megahan, dan menyibukkan diri dengan segala bentuk kelezatan dunia dan segala hal yang akan mendorong kepada kemewahan, semua itu bisa menjadi sebab seseorangberpaling dan menolak kebenaran.” (al-Wadhih fi Ushulil Fiqh, 1/522)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pencari kedudukan, walaupun dengan kebatilan, akan menyukai satu kalimat yang mengagungkan dirinya sekalipun itu batil. Sebaliknya, ia akan membenci ucapan yang mencelanya, kendati hal itu benar. Adapun orang yang beriman mencintai kalimat yang haq untuknya meskipun itu “menyerangnya”, serta membenci kedustaan dan perbuatan zalim.”(Majmu’ al-Fatawa 10/600) Al-’Allamah Abdul Lathif bin
Abdurrahman Alusy Syaikh berkata tentang orang-orang yang berpaling dari kebenaran, “Golongan yang kedua, para pemimpin dan pemilik harta benda yang telah tenggelam dalam dunia dan syahwat mereka. Sebab, mereka mengetahui bahwa kebenaran bisa menghalangi mereka dari segala keinginan, kesenangan, dan syahwat mereka. Mereka tidak memedulikan segala bentuk seruan menuju kebenaran dan tidak mau menerimanya.” (Uyun ar-Rasail hlm. 2/650)
Perilaku setiap orang yang berpaling dari kebenaran karena harta, kedudukan, atau pamor, mirip dengan perilaku orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ulama-ulama Yahudi memiliki “sumber” penghidupan pada orang-orang kaya kaumnya.
Oleh karena itu, saat Rasulullah datang membawa kebenaran, mereka mengetahui bahwa yang dibawanya adalah haq. Namun, karena dunialah mereka mengingkari dan mengkufurinya. Mereka menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui dari bani Israil.
Dunia, Sebab Utama Kesesatan
Saat menafsirkan firman Allah l,
وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
“Dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit.” (al-Baqarah: 41)
Abul Muzhaffar as-Sam’ani berkata, “Mereka adalah para ulama Yahudi dan para pendeta yang telah memiliki sumber penghasilan dari orang-orang kaya mereka dan orang-orang jahil yang mengikuti mereka. Mereka khawatir penghasilan tersebut hilang apabila mereka beriman kepada Muhammad, Rasulullah.
Akhirnya, mereka mengubah ciriciri beliau (yang tercantum dalam kitab mereka, red.) dan menyembunyikan nama beliau. Inilah makna menjual ayat-ayat Allah dengan harga sedikit.” (Tafsir al-Qur’an 1/22)
Kedudukan, kewibawaan, dan kepemimpinan juga telah melandasi para pemuka Quraisy untuk mengingkari Nabi Muhammad, memerangi, dan memusuhinya. Bersamaan dengan itu, mereka mengetahui dan mengakui kebenaran yang diserukan beliau. Al-Miswar bin Makhramah berkata kepada Abu Jahl, pamannya, “Wahai pamanku, apakah kalian menuduh Muhammad berdusta sebelum dia mendakwahkan apa yang diserukan?” Abu Jahl berkata, “Hai anaksaudaraku. Demi Allah, sungguh saat mudanya, di tengah-tengah kami dia dikenal sebagai seorang yang tepercaya (jujur). Kami tidak pernah mengetahui dia berdusta. Tentu setelah bertambah usia dia tidak mungkin akan berdusta atas nama Allah.”
Al-Miswar berkata, “Hai pamanku, mengapa kalian tidak mengikutinya?” Dia berkata, “Hai anak saudaraku, kami telah berselisih dengan bani Hasyim dalam hal kepemimpinan. Mereka memberi makan (orang-orang), kami juga memberi makan. Mereka memberi minum, kami pun memberi minum. Mereka memberi perlindungan, kami juga melakukannya. Tatkala kami saling berlomba-lomba, bani Hasyim berkata, ‘Dari kami ada seorang nabi. Kapan kalian mendapatkannya?’.” (Lihat Miftah Daar as-Sa’adah 1/93)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Meskipun Abu Thalib mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan dia mencintainya, cintanya bukan karena Allah l, melainkan karena dia adalah anak saudaranya. Dia mencintainya karena kekerabatan. Kalaupun dia membela beliau, itu karena ingin memperoleh kedudukan dan kepemimpinan.
Jadi, asal muasal cintanya adalah karena sebuah kedudukan. Hal itu terbukti saat Rasulullah menawarinya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat menjelang ajalnya. Dia melihat bahwa mengikrarkannya akan melenyapkan agama yang dicintainya. Agamanya lebih dia cintai daripadaanak saudaranya. Oleh karena itu, dia menolak mengikrarkannya.” (Fatawa Kubra’ 6/244)
Asy – Syaukani  berkata ,“Terkadang, sebuah ucapan yang haq ditinggalkan karena seseorang ingin menjaga apa yang telah dia peroleh dari negaranya baik berbentuk materi maupun kedudukan. Bahkan, terkadang ucapan yang haq itu ditinggalkan karena berbeda dengan apa yang terjadi di tengah tengah manusia, dalam rangka mencari simpati mereka dan agar mereka tidak lari. Terkadang pula, dia meninggalkan ucapan yang benar karena ketamakannya terhadap apa yang diharapkan dari negaranya atau dari banyak orang di kemudian hari.” (Adabuath-Thalib wa Muntaha al-Arb hlm. 41)
Al-Imam Ibnu Qayyim berkata, “Saya telah berdialog dengan ulama Nasrani yang kelasnya terpandang pada hari ini. Saat jelas kebenaran dihadapannya, dia terdiam. Saya berkata kepadanya tatkala menyendiri dengannya, ‘Sekarang, apa yang menghalangi Anda untuk menerima kebenaran?’ Dia berkata kepadaku, ‘Apabila saya datang ke tengah-tengah kaum Himyar, mereka menaburkan bunga yang semerbak di bawah kaki kendaraanku. Mereka menjadikanku sebagai hakim dalam urusan harta benda dan istri mereka. Mereka tidak pernah menentang segala hal yang aku perintahkan.
Aku ini tidak punya keahlian untuk bekerja. Aku tidak bisa menghafal al-Qur’an, tidak pula mengetahui ilmu nahwu dan fikih. Andaikan aku masuk Islam, niscaya aku akan berkeliling di pasar-pasar, meminta-minta kepada orang banyak. Siapa yang tega hal itu terjadi?’
Aku mengatakan, ‘Itu tidak akan terjadi. Bagaimana sangkaan Anda kepada Allah l saat Anda mengutamakan ridha-Nya di atas nafsu Anda, apakah Dia akan menghinakan, merendahkan, dan menjadikan Anda miskin?
Jika hal itu benar-benar menimpa Anda, kebenaran yang telah Anda raih, keselamatan dari neraka, murka, dan marah Allah adalah harga yang jauh lebih pantas dibandingkan dengan apa yang luput dari Anda.’
Dia berkata, ‘Sampai Allah merestui.’ Saya lalu berkata, ‘Takdir bukan alasan. Jika takdir bisa menjadi alasan, tentu takdir bisa menjadi alasan orang orangYahudi saat mendustakan Nabi Isa . Demikian pula, dia akan menjadi hujah bagi kaum musyrikin ketika mendustakan seruan Rasulullah. Kalian sendiri menolak takdir, bagaimana bisa kalian berhujah dengannya?’ Dia berkata, ‘Biarkan kami dari ini.’ Diapun terdiam.”(Hidayatul HayarafiAjwibatil YahudiwanNashara hlm. 12)

Iman Kepada Takdir Tidak Meniadakan Ikhtiar

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ z خَرَجَ إِلَى الشَّامِ، حَتَّى إِذَا كَانَ بِسَرْغٍ لَقِيَهُ أُمَرَاءُ الْأَجْنَادِ، أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ وَأَصْحَابُهُ، فَأَخْبَرُوهْ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِأَرْضِ الشَّامِ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَقَالَ عُمَرُ: ادْعُ لِي الْمُهَاجِرِينَ الْأَوَّلِينَ. فَدَعَاهُمْ فَاسْتَشَارَهُمْ، وَأَخْبَرَهُمْ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ، فَاخْتَلَفُوا، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: قَدْ خَرَجْتَ لِأَمْرٍ، وَلَا نَرَى أَنْ تَرْجِعَ عَنْهُ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: مَعَكَ بَقِيَّةُ النَّاسِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ n، وَلَا نَرَى أَنْ تُقْدِمَهُمْ عَلَى هَذَا الْوَباَءَ. فَقَالَ: ارْتَفِعُوا عَنِّي. ثُمَّ قَالَ: ادْعُ لِي الْأَنْصَارَ. فَدَعَوْتُهُمْ فَاسْتَشَارَهُمْ، فَسَلَكُوا سَبِيلَ الْمُهَاجِرِينَ وَاخْتَلَفُوا كَاخْتِلَافِهِمْ، فَقَالَ: ارْتَفِعُوا عَنِّي. ثُمَّ قَالَ: ادْعُ لِي مَنْ كَانَ هَا هُنَا مِنْ مَشَيْخَةِ قُرَيْشٍ مِنْ مُهَاجِرَةِ الْفَتْحِ. فَدَعَوْتُهُمْ، فَلَمْ يَخْتَلِفْ مِنْهُمْ عَلَيْهِ رَجُلَانِ، فَقَالُوا: نَرَى أَنْ تَرْجِعَ بِالنَّاسِ وَلَا تُقْدِمَهُمْ عَلَى هَذَا الْوَبَاءَ. فَنَادَى عُمَرُ فِي النَّاسِ: إِنِّي مُصَبِّحٌ عَلَى ظَهْرٍ فَأَصْبِحُوا عَلَيْهِ. قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ: أَفِرَاراً مِنْ قَدَرِ اللهِ؟ فَقَالَ عُمَرُ: لَوْ غَيْرُكَ قَالَهَا، يَا أَبَا عُبَيْدَةَ؟! نَعَمْ، نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللهِ إِلَى قَدَرِ اللهِ، أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ إِبِلٌ هَبَطَتْ وَادِياً لَهُ عَدوتان، إِحْدَاهُمَا خَصْبَةٌ، وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ، أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ، وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ؟ قَالَ: فَجَاءَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَكَانَ مُتَغَيِّباً فِي بَعْضِ حَاجَتِهِ، فَقَالَ: إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْماً، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ n يَقُولُ: إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَاراً مِنْهُ. قَالَ: فَحَمِدَ اللهَ عُمَرُ ثُمَّ انْصَرَفَ.
Abdullah bin Abbas c mengisahkan kala Umar bin al-Khaththab z melakukan perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh1, beliau ditemui oleh para amir kota-kota wilayah Syam2, Abu Ubaidah dan para sahabatnya3. Mereka mengabarkan bahwa wabah tha’un sedang melanda Syam.
Umar berkata, “Kumpulkan kepadaku sahabat muhajirin yang pertama!”4 Umar memberitahukan kepada mereka bahwa wabah tha’un telah berjangkit di Syam lalu meminta pendapat mereka. Ternyata sahabat Muhajirin berselisih pendapat. Sebagian mereka berkata, “Engkau pergi untuk suatu urusan dan kami tidak sepakat jika engkau kembali.” Sebagian lain berkata, “Bersama engkau masih banyak rakyat dan para sahabat. Kami tidak sepakat jika engkau membawa mereka menuju wabah tha’un.”
Umar berkata, “Tinggalkanlah aku. Tolong panggilkan sahabat-sahabat Anshar!” Aku pun memanggil mereka. Ketika dimintai pertimbangan, mereka juga bersikap dan berbeda pendapat seperti halnya orang-orang Muhajirin.
Umar berkata, “Tinggalkanlah aku!” Lalu ia berkata, “Panggilkan sesepuh Quraisy yang dahulu hijrah pada waktu penaklukan (Fathu Makkah) dan sekarang berada di sini!” Aku pun memanggil mereka. Mereka ternyata tidak berselisih. Mereka semua berkata, “Menurut kami, sebaiknya engkau kembali bersama orang-orang dan tidak mengajak mereka mendatangi wabah ini.”
(Setelah mendengar berbagai pendapat –pen.) Umar berseru di tengah-tengah manusia (berijtihad memutuskan apa yang beliau anggap mendekati kebenaran –pen.), “Sungguh aku akan mengendarai tungganganku untuk pulang esok pagi. Hendaknya kalian mengikuti!”
Abu Ubaidah bin Jarrah z bertanya, “Apakah untuk menghindari takdir Allah?”
Umar menjawab, “Kalau saja bukan engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah (tentu aku tidak akan heran –pen.). Ya, kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Apa pendapatmu seandainya engkau mempunyai seekor unta yang turun di sebuah lembah yang memiliki dua lereng, salah satunya subur dan yang kedua tandus. Jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, bukankah engkau menggembalakannya dengan takdir Allah? Begitu pun sebaliknya. Kalau engkau menggembalakannya di tempat yang tandus, bukankah engkau menggembalakannya juga dengan takdir Allah?” (Demikian pula, apa yang kita putuskan tidak lepas dari takdir Allah, sebagaimana yang dilakukan penggembala yang mengarahkan kambingnya dari tanah yang tandus menuju tanah yang subur tidak lepas dari takdir Allah –pen.)
Ibnu Abbas c berkata, “Tiba-tiba datanglah Abdurrahman bin ‘Auf, yang sebelumnya tidak hadir karena keperluannya. Ia berkata, ‘Sungguh aku memiki ilmu tentang masalah ini. Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَاراً مِنْهُ
‘Jika engkau mendengar wabah tha’un di sebuah negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Dan seandainya wabah tha’un terjadi di negeri yang engkau tinggali, janganlah engkau meninggalkan negerimu karena lari dari tha’un’.”
Ibnu Abbas berkata, “(Begitu mendengar hadits tersebut), Umar memuji Allah lalu meninggalkan majelis.”
Takhrij Hadits
Riwayat Abdullah bin Abbas c dikeluarkan al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab ath-Thib (Pengobatan), “Bab Tentang Penyakit Tha’un” (10/178 no. 5729 dengan Fathul Bari). Lihat pula no. 5730 dan 6973.
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam ash-Shahih, Kitab As-Salam (4/1740 no. 2219), Abu Dawud dalam as-Sunan, Kitab Jenazah, “Bab Keluar dari Penyakit Tha’un” (no. 3103), al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (1/194), Malik dalam al-Muwaththa’, dan Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat al-Kubra.
Penjelasan Hadits
Abdullah bin Abbas c mengabarkan kepada kita perjalanan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab z menuju Syam bersama rombongan sahabat di masa kekhilafahan beliau.
Badruddin Mahmud bin Ahmad al-‘Aini (wafat 855 H) t berkata, “Perjalanan tersebut terjadi pada bulan Rabi’ul Akhir tahun 18 H. Adapun Khalifah bin Khayyath (wafat 240 H) menyebutkan bahwa keluarnya Umar menuju Syam kali itu terjadi di tahun 17 H untuk melihat keadaan rakyat dan para gubernur. Sebelumnya, di tahun 16 H, Umar juga pernah pergi ke Syam, yaitu ketika Abu Ubaidah ‘Amir bin al-Jarrah z mengepung Baitul Maqdis (hingga dikuasai oleh kaum muslimin). Penduduk Baitul Maqdis menginginkan sulh (perjanjian damai) dilakukan oleh Umar sendiri. Oleh karena itu, pergilah beliau (menuju Syam) untuk tujuan tersebut. (Umdatul Qari, 21/283)5
Di tengah perjalanan, datang berita bahwa tha’un tengah melanda Syam. Umar bin al-Khaththab zdan para sahabat bermusyawarah merumuskan kebijakan menyikapi berita tersebut. Terjadi perbedaan pandangan di antara sahabat. Masing-masing memiliki ijtihad, apakah tetap melanjutkan perjalanan masuk ke Syam atau kembali ke Madinah. Dari musyawarah yang cukup panjang dan dengan segenap pertimbangan, Umar bin al-Khaththab z berijtihad memutuskan kembali ke Madinah bersama sahabat. Beliau z merajihkan pendapat kebanyakan sahabat yang ternyata mencocoki sabda Rasulullah n yang dibawakan oleh Abdurrahman bin Auf z.
Saudaraku, semoga Allah l merahmati Anda. Tha’un adalah penyakit yang mewabah secara merata, menimpa wilayah tertentu, dengan takdir Allah l. Tha’un memakan korban yang sangat banyak.
Tha’un yang terjadi di zaman Umar bin al-Khaththab z, yang dikisahkan dalam riwayat Ibnu Abbas z terkenal sebagai tha’un ‘Amwas, nama sebuah kota di wilayah Palestina yang berjarak lebih kurang enam mil dari kota Ramallah.6
Menurut pendapat jumhur, Tha’un ‘Amwas terjadi pada tahun 18 H. Akibat wabah tersebut, sekitar 25 hingga 30 ribu muslimin meninggal. Termasuk di antara mereka adalah sahabat Abu Ubaidah ‘Amir bin al-Jarrah z, salah seorang dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan jannah (masuk surga) dari Rasulullah n. Tha’un ‘Amwas termasuk salah satu tanda kiamat yang telah dikabarkan sebelumnya oleh Rasulullah n dalam sabdanya:
اعْدَدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ: مَوْتِي، ثُمَّ فَتْحَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ مَوْتَانِ يَأْخُذُ فِيْكُمْ كَقُعَاصِ الْغَنَمِ …
“Nantikan enam perkara sebelum hari kiamat: Kematianku, kemudian ditaklukkannya Baitul Maqdis, lalu kematian besar menimpa kalian seperti penyakit Qu’ash7 pada kambing ….” (HR. al-Bukhari dalam ash-Shahih, Kitab Jizyah, no. 3176 dari Auf bin Malik z)8
Ibnu Hajar t berkata, “Tanda kiamat yang disebut dalam hadits ini terwujud pada Tha’un ‘Amwas di masa kekhilafahan Umar, sesudah direbutnya Baitul Maqdis.” (Fathul Bari 6/278)
Iman Kepada Takdir, Pokok Keimanan
Kisah perjalanan Umar bin al-Khaththab z kita fokuskan dalam pembahasan ini untuk menunjukkan bagaimana sahabat Rasulullah n beriman kepada takdir. Mereka memahami bahwa iman kepada takdir tidak bermakna putus asa dan lari dari usaha.
Perhatikan kisah di atas. Ketika Abu Ubaidah z bertanya kepada Umar, “Apakah engkau akan lari dari takdir Allah l dengan kembali ke Madinah?” Umar bin al-Khaththab z menjawab dengan sebuah permisalan yang indah tentang seorang penggembala yang selalu berusaha mencari tempat yang paling banyak rumputnya untuk hewan gembalaannya. Jika ia dapatkan dua lahan, yang satu gersang dan yang lain subur, tentu ia akan mengarahkan unta atau kambingnya menuju lahan yang subur. Semua itu tidak luput dari takdir Allah l.
Iman kepada takdir adalah salah satu pokok keimanan yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an, as-Sunnah, dan kesepakatan kaum mukminin. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadar.” (al-Qamar: 49)
Hakikat iman kepada takdir adalah mengimani ilmu Allah l yang Mahasempurna. Ilmu Allah l meliputi segala sesuatu: yang belum terjadi, yang sedang terjadi, yang telah terjadi, dan yang tidak terjadi. Seandainya sesuatu yang tidak terjadi itu terjadi, Allah Mahatahu bagaimana terjadinya. Dengarlah firman Allah l tentang penduduk neraka yang kekal di dalamnya ketika mengharapkan kembali ke alam dunia. Allah Mahatahu apa yang akan mereka lakukan seandainya dikembalikan ke dunia:
Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, “Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Rabb kami, serta menjadi orang-orang yang beriman”, (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan). Tetapi, (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta belaka. (al-An’am: 27—28)
Demikianlah ilmu Allah l. Tidak ada sedikit pun yang luput dari ilmu-Nya. Berdasarkan ilmu yang sempurna itu, Allah l menulis segala sesuatu yang akan terjadi di Lauhul Mahfuzh, 50 ribu tahun sebelum Allah l menciptakan langit dan bumi. Rasulullah n bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah mencatat takdir-takdir makhluk-makhluk-Nya 50.000 tahun sebelum Dia ciptakan langit-langit dan bumi.” (HR. Muslim, Kitab al-Qadar, no. 2653 dari Abdullah bin ‘Amr c)
Apa yang telah tercatat dalam Lauhul Mahfuzh terjadi dengan rinci, satu per satu. Semua dengan penciptaan dari Allah l dan di bawah kehendak-Nya. Tidak ada satu pun yang terlepas dari ilmu, kehendak, dan penciptaan Allah l. Allahu Akbar.
Tidak Beriman, Orang yang Mengingkari Takdir
Pengingkar takdir bukanlah golongan orang yang beriman. Amalan mereka sia-sia dan tidak diterima oleh Allah l. Oleh karena itu, ketika sahabat Abdullah bin Umar c mendengar berita munculnya Qadariyah—yaitu kaum yang mengingkari takdir, yang ditokohi oleh Ma’bad al-Juhani—di Bashrah, dengan tegas Ibnu Umar c berkata:
فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ، لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ، مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Jika engkau berjumpa dengan mereka (Qadariyah), kabarkanlah bahwasanya aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar Gunung Uhud lalu diinfakkan, sungguh Allah tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada takdir.”
Di atas keyakinan inilah para sahabat berpijak. Di atas akidah inilah salafus shalih bersandar. Al-Imam Ibnu Majah t meriwayatkan kisah Ibnu Dailami t saat ia mengadukan kegelisahan hatinya mengenai takdir kepada para sahabat g hingga mendapatkan jawaban yang sangat menyejukkan.
Ibnu Dailami t berkata, “Ada sesuatu yang tidak baik dalam diriku tentang takdir. Aku sangat khawatir hal ini merusak agama dan urusanku. Aku pun datang kepada Ubai bin Ka’b z dan bertanya, ‘Wahai Abul Mundzir, sungguh dalam diriku ada bisikan yang kurang baik tentang takdir. Aku mengkhawatirkan agamaku dan urusanku. Nasihati aku tentang hal itu, semoga Allah l memberikan manfaat kepadaku dengannya.’
Ubai z berkata, ‘(Wahai Ibnu Dailami, janganlah engkau bimbang dengan takdir). Seandainya Allah mengazab penduduk langit-langit dan bumi-Nya, sungguh Ia tidak menzalimi hamba-Nya. Demikian pula, seandainya Allah l merahmati mereka (memasukkan mereka ke dalam jannah-Nya), sungguh rahmat-Nya melebihi amalan-amalan mereka.9 Seandainya engkau memiliki emas sejumlah Gunung Uhud yang engkau infakkan fi sabilillah, amalanmu tidak akan diterima hingga engkau beriman kepada takdir. Hingga engkau yakin bahwa apa yang telah ditakdirkan akan menimpamu tidak akan meleset darimu, dan apa yang ditakdirkan tidak menimpamu tidak akan menimpamu. Sungguh, seandainya engkau mati dalam keadaan tidak beriman kepada takdir, engkau akan masuk ke dalam neraka. (Wahai Ibnu Dailami), kalau engkau mau, pergilah kepada saudaraku, Abdullah bin Mas’ud dan bertanyalah.’
Aku pun mendatangi Ibnu Mas’ud dan bertanya kepadanya. Ternyata, ia menjawab seperti jawaban Ubai. Lalu Ibnu Mas’ud z berkata, ‘Coba engkau datangi Hudzaifah!’
Aku pun mendatangi beliau. Aku tanyakan masalahku. Beliau menjawab seperti jawaban Ibnu Mas’ud. Kemudian Hudzaifah berkata, ‘Cobalah engkau datangi Zaid bin Tsabit, tanyakan kepadanya!’
Aku pun bertanya kepada Zaid, lalu beliau berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
لَوْ أَنَّ اللهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ، وَلَوْ رَحِمَهُمْ لَكَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ. وَلَوْ كَانَ لَكَ مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا أَوْ مِثْلُ جَبَلِ أُحُدٍ تُنْفِقُهُ فِي سَبِيلِ اللهِ مَا قَبِلَهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ كُلِّهِ. فَتَعَلَّمْ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ. وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ. وَأَنَّكَ إِنْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا دَخَلْتَ النَّارَ
“Sungguh, seandainya Allah mengazab penduduk langit-langit-Nya dan bumi-Nya sungguh Dia mengazab tanpa menzalimi hamba-Nya. Demikian pula, seandainya Allah merahmati mereka (memasukkan mereka ke jannah-Nya), sungguh rahmat-Nya melebihi amalan-amalan mereka. Seandainya engkau memiliki emas sebesar Gunung Uhud yang engkau infakkan fi sabilillah, amalanmu tidak akan diterima hingga engkau beriman kepada takdir seluruhnya dan engkau meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan akan menimpamu tidak akan meleset darimu, apa yang ditakdirkan tidak menimpamu tidak akan mengenaimu. Sungguh, seandainya engkau mati tanpa beriman kepada takdir, engkau akan masuk ke dalam neraka.” (Muqaddimah Sunan Ibnu Majah, Bab al-Qadar, no. 77, disahihkan oleh al-Albani t)
Renungilah jawaban para sahabat yang mulia saat Ibnu Dailami bertanya tentang takdir! Semua memiliki keyakinan yang sama tentang takdir. Sebuah keyakinan yang diajarkan oleh Rasulullah n.
Di antara hadits yang menunjukkan takdir Allah l adalah hadits Abdullah bin Mas’ud z. Rasulullah n bersabda, “Sesungguhnya, setiap orang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah (air mani), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama waktu itu juga, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu juga. Setelah itu, diutuslah seorang malaikat kepadanya, kemudian meniupkan ruh kepadanya. Malaikat itu diperintahkan menulis empat kalimat: rezekinya, ajalnya, amalnya, dan nasib celaka atau keberuntungannya. Demi Allah, Dzat yang tiada sesembahan yang haq selain-Nya, sesungguhnya ada di antara kalian yang melakukan amalan penduduk surga hingga antara dirinya dan surga tinggal sejarak satu hasta. Namun, karena takdir yang telah ditetapkan atas dirinya, dia melakukan amalan penduduk neraka sehingga masuk ke dalamnya. Dan sesungguhnya, ada seseorang di antara kalian yang melakukan amalan penduduk neraka, dan amal itu mendekatkannya ke neraka sehingga jarak antara dia dan neraka hanya kurang satu hasta. Namun, karena takdir yang telah ditetapkan atas dirinya, dia melakukan amalan penduduk surga sehingga dia masuk ke dalamnya.”
Iman kepada Takdir Tidak Bermakna Mengabaikan Ikhtiar
Takdir bukan maknanya seseorang malas menempuh usaha. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul n menunjukkan pokok yang agung ini. Rasulullah n bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجِزْ، فَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا؛ وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ.
Bersemangatlah kamu menempuh apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan sekali-kali kamu malas. Jika sesuatu menimpamu, janganlah kamu katakan, “Seandainya dahulu aku lakukan ini dan itu, niscaya akan demikian dan demikian.” Namun, katakanlah, “Ini adalah takdir Allah, apa yang Ia kehendaki pasti terjadi.”
Rasulullah n membimbing umatnya untuk bersemangat berikhtiar, menempuh usaha yang bermanfaat dalam urusan dunia dan agama. Perintah Rasulullah n kepada umatnya untuk berusaha, beliau gabungkan dengan iman kepada takdir. Ini menunjukkan bahwa iman kepada takdir tidak bertentangan dengan usaha.
Benar, penduduk jannah (surga) telah ditetapkan, tidak akan meleset dari apa yang telah ditentukan oleh Allah l. Demikian pula, penduduk neraka telah Dia tentukan, dan pasti mereka akan memasukinya. Namun, bersamaan dengan itu Allah l memerintah kita untuk beramal. Sungguh, seorang yang jujur dalam beramal akan Dia mudahkan jalan menuju jannah-Nya. Sesungguhnya Allah l adalah Dzat Yang Mahaadil, tidak menzalimi hamba-Nya. Sahabat Ali bin Abi Thalib z berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللهِ n وَهُوَ يَنْكُثُ فِي الْأَرْضِ إِذْ رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ ثُمَّ قَالَ: مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ قَدْ عُلِمَ -قَالَ وَكِيعٌ: إِلاَّ قَدْ كُتِبَ- مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ. قَالُوا: أَفَلَا نَتَّكِلُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
Kami bersama Rasulullah n yang sedang menggores-gores tanah, ketika beliau mengangkat wajah ke langit lalu bersabda, “Tidak ada seorang pun di antara kalian melainkan telah diketahui—dalam riwayat Waki’: telah ditentukan—tempatnya di neraka dan tempatnya di Jannah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah berarti kita bersandar saja (dengan takdir dan tidak beramal)?” Rasulullah bersabda, “Tidak, beramallah kalian, karena masing-masing akan dimudahkan kepada apa yang telah ditentukan untuknya.”10
Dalam riwayat lain, Rasulullah n membacakan firman Allah l:
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (al-Lail: 5—10)
Mengapa Manusia Membedakan Urusan Dunia dan Akhirat?
Orang-orang yang malas beribadah, saat diingatkan tentang surga dan neraka, dengan enteng mengatakan, “Bukankah surga dan neraka sudah ditakdirkan? Apalah artinya beramal? Toh, seandainya aku beramal saleh tetapi neraka telah ditakdirkan untukku, akan sia-sia semua amalan. Sebaliknya, kalau aku malas beribadah namun surga telah ditakdirkan untukku, niscaya surga tidak akan lari dariku”
Saudaraku, ungkapan di atas sesungguhnya bisikan dan was-was setan. Dalam urusan akhirat, manusia dibujuk untuk meninggalkan amalan dan bersandar kepada takdir. Namun, dalam urusan dunia, setan terus mengembuskan syahwat dunia sehingga seorang berambisi terhadapnya dan melupakan negeri akhirat. Siang malam keringat diperas, semua kekuatan dicurahkan untuk mengais emas dan perak.
Sungguh sangat mengherankan! Dalam urusan akhirat, mereka meninggalkan ikhtiar. Namun, dalam urusan dunia, mereka sadar bahwa duduk di rumah dan bersandar kepada takdir tanpa usaha adalah bentuk kebodohan.
Dua sikap yang bertolak belakang ini sungguh mengherankan. Seharusnya manusia tidak membedakan urusan dunia dan akhirat dalam hal beriman terhadap takdir dan menempuh usaha. Sebagaimana ia berusaha mendapatkan rezeki di dunia, yang semuanya telah ditakdirkan oleh Allah l, demikian pula seharusnya ia berusaha menempuh amalan yang menyelamatkan dirinya dari neraka dan melakukan amalan saleh demi kebahagiaannya di akhirat, yang semua itu juga telah ditakdirkan oleh Allah l.
Beberapa Faedah Riwayat Ibnu Abbas c
Perjalanan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab z, menyimpan banyak faedah dalam masalah akidah, ushul fiqih, hukum-hukum, dan adab. Berikut ini di antaranya.
1. Seorang pemimpin hendaknya keluar untuk melihat sendiri keadaan rakyatnya.
2. Perjalanan Umar z adalah teladan dalam ketawadhuan. Beliau termasuk al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang mendapat pujian dari Rasulullah n. Bahkan, beliau telah dijamin sebagai ahlul jannah. Namun, kemuliaan itu tidak menghalangi beliau untuk keluar melihat keadaan rakyatnya. Demikianlah seharusnya seorang pemimpin.
3. Ketika pemimpin melihat sendiri keadaan rakyatnya, hal ini akan membuat takut musuh Allah l dan ahlul fasad (pembuat kerusakan) sehingga mereka segera menghentikan kezaliman.
4. Berkumpul dengan ulama, sebagaimana amir-amir Syam menjumpai Umar bin al-Khaththab z.
5. Pentingnya musyawarah untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Sunnah Rasulullah n.
6. Mendahulukan ahlul fadhl (orang-orang yang memiliki keutamaan dalam hal ilmu dan amal) dalam bermusyawarah.
7. Menempatkan manusia sesuai kedudukan mereka. Kaum Muhajirin lebih mulia daripada kaum Anshar, dan kaum Anshar lebih mulia daripada sahabat yang baru masuk Islam ketika Fathu Makkah.
8. Disyariatkan munazharah (diskusi ilmiah), sebagaimana yang terjadi antara Umar z dan Abu Ubaidah Amir bin al-Jarrah z. Melalui diskusi yang penuh adab, akan teranglah perkara yang samar dan tampaklah kebenaran.
9. Adanya tarjih (menguatkan satu pendapat dari beberapa pendapat yang diperselisihkan, dengan memerhatikan faktor-faktor penguat yang mengitarinya).
Dalam kisah ini, Umar z memilih pendapat kembali ke Madinah, karena pendapat ini disepakati sesepuh Quraisy yang tentu memiliki banyak pengalaman sebagai orang tua, di samping pendapat ini adalah pendapat mayoritas Muhajirin dan Anshar.
10. Hadits di atas menunjukkan kefaqihan dan keutamaan Umar z dalam hal ilmu.
Hal ini dilihat dari sisi bahwa ijtihad beliau sesuai dengan hadits Rasulullah n yang dibawa oleh Abdurrahman bin Auf z setelah berjalannya musyawarah.
11. Imam (khalifah) memutuskan perselisihan di kalangan umat dalam masalah ijtihadiah, sebagaimana Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab z memutuskan untuk kembali ke Madinah setelah adanya perbedaan pendapat dan memerintahkan rakyatnya mengikuti beliau.11
12. Khilaf (perbedaan pendapat) dalam masalah ijtihadiah tidak menyebabkan terputusnya hubungan (boikot) atau saling mencela dan mengeluarkan pihak yang lain dari lingkaran Ahlus Sunnah, sebagaimana fenomena menyedihkan ini terjadi di sekitar kita. Allahul musta’an.
13. Di antara sebab terjadinya khilaf di antara ulama adalah tidak sampainya dalil sehingga ulama terpaksa untuk berijtihad.
14. Bolehnya ijtihad di saat safar atau peperangan.
15. Boleh jadi suatu ilmu tidak diketahui oleh seorang yang alim.
Lihatlah Umar beserta sahabat Muhajirin dan Anshar. Mereka tidak mendengar hadits yang didengar oleh Abdurrahman ibnu Auf z.
16. Tetap mengambil ilmu meskipun dari orang yang lebih muda atau lebih rendah tingkat keilmuannya.
17. Hadits ahad adalah hujjah dan wajib diamalkan.
Dalam kisah di atas, seluruh sahabat—yang tidak diragukan adalah ahlul halli wal ‘aqdi—bersepakat menerima berita Abdurrahman bin Auf z, padahal beliau meriwayatkan hadits di atas seorang diri. Ini sekaligus bantahan terhadap Mu’tazilah dan sejalan dengan mereka dari kalangan para pengingkar hadits ahad.12
18. Dipakainya qiyas dalam pengambilan hukum. Tentu saja dengan syarat-syaratnya, di antaranya tidak adanya nash.
Dalam kisah ini Umar mengiaskan masalah yang sedang dihadapi dengan seorang penggembala di hadapan dua lembah, yang satu gersang dan yang lain subur.
19. Semangat untuk kembali kepada al-haq (kebenaran) ketika terjadi perselisihan.
Jika ada nash, tidak ada lagi ijtihad, siapa pun orangnya. Jika telah datang dalil, yang ada hanyalah berserah diri kepada dalil tersebut.
20. Al-Qur’an dan hadits adalah ilmu.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abdurrahman bin Auf z, “Aku memiliki ilmu.” Yang beliau maksud adalah hadits Rasulullah n.
21. Menyampaikan ilmu ketika safar.
22. Hadits ini juga menunjukkan sebuah masalah penting yang diyakini oleh para sahabat dan generasi salaf, yaitu beriman kepada takdir.
23. Tidak ada sesuatu yang keluar dari takdir Allah l. Masuk ke Syam atau tidak, semuanya dengan takdir.
24. Iman kepada takdir tidak meniadakan usaha, sebagaimana halnya Umar memilih kembali ke Madinah, seperti penggembala unta berusaha menggiring untanya menuju lembah yang subur.
25. Wali-wali Allah l tidaklah ma’shum (terbebas dari kesalahan). Ketika berijtihad, mereka terkadang sesuai dengan al-haq, terkadang pula menyelisihinya.
26. Wali-wali Allah l tidak mengetahui urusan gaib.
Umar bin al-Khaththab, sahabat Muhajirin, dan sahabat Anshar g, tidak mengetahui terjadinya tha’un ‘Amwas. Demikian pula, mereka tidak mengetahui ilmu yang diketahui oleh Abdurrahman bin ‘Auf sehingga mereka pun harus berijtihad.
27. Wali-wali Allah l selalu terikat dengan syariat: Al-Kitab dan as-Sunnah.
Lihatlah tiga orang yang dijamin masuk surga,: Umar bin al-Khaththab, Abu Ubaidah ‘Amir bin al-Jarrah, dan Abdurrahman bin ‘Auf, yang disebut namanya dalam hadits ini. Semuanya tunduk kepada hadits Rasul n, demikian pula kaum Muhajirin dan Anshar yang juga merupakan wali-wali Allah l.
28. Terjadinya Tha’un ‘Amwas di masa Umar bin al-Khaththab adalah salah satu tanda kenabian Rasulullah n.
29. Tidak memasuki negeri yang terjadi wabah tha’un di sana.
30. Orang yang berada di dalam negeri yang terjadi tha’un padanya tidak boleh keluar karena lari dari tha’un.
31. Mafhum dari sabda Rasulullah n, jika seorang keluar bukan karena lari dari tha’un, hal ini diperbolehkan.
32. Menjauhkan diri dari sebab-sebab kebinasaan dan menempuh sebab-sebab keselamatan.
33. Berbahagia dengan nikmat ilmu dan memuji Allah l atas nikmat tersebut.
Allah l berfirman:
Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Yunus: 58)
Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:
1 Sargh adalah daerah di pinggiran Syam, di wadi (lembah) Tabuk.
2 Kota-kota Syam adalah Palestina, Jordania, Himsh, Damaskus, dan Qansirin.
3 Yakni Khalid bin al-Walid, Yazid bin Abi Sufyan, Syarahil bin Hasanah, dan Amr bin al-‘Ash g.
4 Sahabat Muhajirin yang pertama adalah mereka yang shalat menghadap dua kiblat, Baitul Maqdis dan Ka’bah.
5 Jumhur ahli sejarah menyebutkan bahwa tahun dibukanya Baitul Maqdis dan kehadiran Umar untuk melakukan sulh adalah tahun 17 H.
6 Lihat Mu’jam al-Buldan (4/157).
7 Qu’ash adalah penyakit yang menimpa hewan, menyebabkan cairan mengalir dari hidung hewan tersebut dan mengakibatkannya mati mendadak. Lihat an-Nihayah (4/88) dan Fathul Bari (6/278).
8 ‘Auf z berkata, “Ketika perang Tabuk, aku mendatangi Rasulullah n di tenda yang terbuat dari kulit. Beliau bersabda, ‘Nantikan enam perkara….’ dst.”
9 Maksudnya, janganlah engkau bimbang dengan takdir. Penduduk neraka sudah ditakdirkan oleh Allah l, demikian pula penduduk jannah. Semua manusia telah Dia takdirkan tempatnya di surga atau neraka. Hendaknya keimananmu kepada takdir tidak membawamu su’uzhan (berburuk sangka) kepada Allah l. Allah l tidak menzalimi hamba-Nya.
10 HR. at-Tirmidzi no. 2219 dari Ali bin Abi Thalib z. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan sahih.”
11 Penentuan hilal Ramadhan dan Syawal, misalnya. Hendaknya masyarakat mengikuti keputusan waliyul amr (pemerintah), sehingga persatuan muslimin lebih terwujud dan kokoh, tidak terjadi pertikaian yang menyebabkan kelemahan di tubuh muslimin.