Salah satu ajaran menyimpang yang
menonjol adalah tabattul (hidup membujang). Diyakini oleh penganut sufi,
dengan “cara beragama” seperti ini, mereka lebih bisa mendekatkan diri
kepada Allah l. Benarkah?
Di antara nikmat dan tanda kekuasaan Allah l adalah disyariatkannya
nikah, yang mana mendatangkan banyak maslahat dan manfaat bagi setiap
individu dan masyarakatnya. Allah l berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untuk
kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Nikah termasuk nikmat
Allah l yang agung. Allah l syariatkan bagi hamba-Nya dan menjadikannya
sebagai sarana serta jalan menuju kemaslahatan dan manfaat yang tak
terhingga….” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 4/331)
Bahkan Allah l menyebutnya dengan lafadz perintah dalam beberapa ayat. Allah l berfirman:
“Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian menikahinya), maka
nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.
Namun jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya kalian yang
lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah
akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud z, Rasulullah n berkata:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ،
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu untuk
menikah hendaknya menikah, karena itu akan lebih menundukkan pandangan
dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu, hendaknya berpuasa
karena itu adalah pemutus syahwatnya.”
Ibnu ‘Abbas c berkata kepada Sa’id bin Jubair t: “Menikahlah, karena
orang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya.”
(Dibawakan oleh Al-Bukhari t dalam Shahih-nya)
Bahkan para ulama menyatakan, seorang yang khawatir terjatuh dalam
zina maka dia wajib menikah. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Nikah
menjadi wajib atas seorang yang khawatir terjatuh dalam zina jika
meninggalkannya. Karena, itu adalah jalan bagi dia untuk menjaga diri
dari perbuatan haram. Dalam keadaan seperti ini, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah t berkata: “Jika seseorang telah perlu menikah dan khawatir
terjatuh dalam kenistaan jika meninggalkannya, maka harus dia dahulukan
dari amalan haji yang wajib.” (Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/258)
Seorang yang menikah dengan niat menjaga kehormatan dijamin oleh
Allah l. Diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah z, Rasulullah n berkata:
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتَبُ
الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ،
وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Tiga golongan yang Allah akan menolong mereka: budak yang hendak
menebus dirinya, seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya, dan
seorang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. An-Nasa`i, Kitabun Nikah,
Bab Ma’unatullah An-Nakih Al-Ladzi Yuridul ‘Afaf, no. 3166)
Janganlah seseorang meninggalkan pernikahan karena mengikuti bisikan
setan, dengan dibayangi kesulitan ekonomi, padahal dia telah sangat
ingin menikah serta takut terjatuh dalam maksiat. Bertawakallah dengan
disertai ikhtiar, karena Allah l menjamin orang yang benar-benar
bertawakal kepada-Nya. Allah l berfirman:
“Barangsiapa yang bertawakal kepada-Nya pasti Dia akan menjadi Pencukupnya.” (Ath-Thalaq: 3)
Tabattul ala Shufiyah (Sufi)
Tabattul adalah meninggalkan wanita dan pernikahan dengan dalih untuk
fokus beribadah kepada Allah l. Tabattul adalah keyakinan Shufiyah yang
menyelisihi prinsip Islam.
Al-Imam Ahmad t berkata: “Hidup menyendiri bukanlah termasuk ajaran
Islam.” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang mengajak untuk tidak
menikah, maka dia telah menyeru kepada selain Islam. Jika seorang telah
menikah, maka telah sempurna keislamannya.” (lihat ucapan beliau dalam
Al-Mughni karya Ibnu Qudamah t)
Apa yang beliau sebutkan didasari banyak dalil. Di antaranya, ketika
ada tiga orang datang ke rumah sebagian istri Rasulullah n dan bertanya
tentang ibadah beliau n. Ketika kembali, sebagian mereka menyatakan:
“Aku akan puasa terus menerus dan tidak akan berbuka.” Yang lain
berkata: “Aku akan shalat malam, tidak akan tidur.” Dan sebagian lagi
berkata: “Aku tak akan menikah dengan wanita.” Ketika sampai ucapan
ketiga orang ini kepada beliau n, beliau n berkata:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا: كَذَا وَكَذَا؟! لَكِنِّي أُصَلِّي
وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ
عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kenapa ada orang-orang yang berkata ini dan itu?! Aku shalat malam
tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita.
Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam t berkata: “Berpaling dari istri dan anak (tidak mau
menikah, pen.) bukanlah perkara yang dicintai Allah l dan Rasul-Nya.
Bahkan bukan agama para nabi dan rasul. Allah l telah berfirman:
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau dan kami berikan kepada
mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38) [Ucapan Ibnu Taimiyah t
dinukil dari Taudhihul Ahkam]
Sehingga Al-Imam Asy-Syathibi t menyatakan bahwa meninggalkan nikah
dengan niat sebagai ibadah termasuk bid’ah (yakni bid’ah tarkiyah).
(Lihat Al-I’tisham karya Al-Imam Asy-Syathibi t)
Dalil-dalil yang Melarang Tabattul
Bahkan telah ada nash-nash khusus melarang tabattul. Dalam Ash-Shahihain, diriwayatkan bahwa Sa’d bin Abi Waqqash z berkata:
رَدَّ رَسُولُ اللهِ n عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ، وَلَوْ أُذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا
“Rasulullah n menolak permintaan Utsman bin Mazh’un untuk terus
membujang. Kalau beliau mengizinkannya, niscaya kami akan mengebiri diri
kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, Anas bin Malik z berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنْ
التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا وَيَقُولُ: تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ
الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Rasulullah memerintahkan kami untuk menikah dan melarang kami
bertabattul. Beliau berkata: ‘Nikahilah oleh kalian wanita yang subur
(calon banyak anak), karena aku akan berbangga kepada para nabi di hari
kiamat dengan banyaknya kalian’.” (Hadits shahih riwayat Ahmad)
Bid’ah Tabattul Menjerumuskan Shufiyah ke dalam Kubangan Maksiat
Pemikiran bid’ah yang ada pada Shufiyah ini menjerumuskan mereka
kepada perkara-perkara yang menghinakan. Kami akan sampaikan apa yang
telah diterangkan Asy-Syaikh Muqbil t ketika menjelaskan
kejelekan-kejelekan Shufiyah. Beliau t berkata:
“…Di antara khurafat Shufiyah adalah mereka mengharamkan atas diri
mereka apa yang Allah l halalkan berupa menikah –padahal menikah
merupakan sunnah para rasul–. Allah l berfirman dalam kitab-Nya:
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau serta kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Nabi kita n berkata:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dibuat cinta kepadaku dari dunia kalian minyak wangi dan wanita, serta dijadikan penyejuk mataku adalah shalat.”
Datang tiga orang kepada istri Nabi, bertanya tentang ibadah Nabi n.
Ketika diberi kabar sepertinya mereka menganggap sedikit, maka sebagian
mereka berkata: ‘Adapun saya, akan shalat malam dan tak akan tidur.’
Yang lain berkata: ‘Aku akan puasa dan tak akan berbuka.’ Yang lainnya
lagi berkata: ‘Aku tak akan menikahi wanita.’ Nabi n datang dan diberi
tahu tentang ucapan mereka ini. Beliaupun berkata:
أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللهِ إِنِّي
لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ
وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kalian yang berkata demikian dan demikian, ketahuilah aku adalah
orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah l dan paling
bertakwa. Akan tetapi aku shalat malam dan tidur, aku berpuasa serta
berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku
maka dia bukan berada di atas jalanku.”
Rabbul ‘Izzah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.” (Al-Ma`idah: 87)
Allah l berfirman dalam Al-Qur`an:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap shalat, makan
dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)
Mereka menahan diri mereka dari wanita (tidak mau menikah, pen.).
Siapakah yang mereka ikuti? (Mereka) mengikuti tokoh-tokoh Nashrani dan
‘abid (para ahli ibadah) dari kalangan Yahudi.
Akan tetapi, ketika mereka enggan kepada wanita, apa yang mereka
lakukan? Mereka terfitnah oleh amrad (laki-laki yang wajahnya mirip
wanita). Sampai pernah terjadi, seorang (Shufi) kasmaran kepada seorang
amrad (sebagaimana dalam kitab Talbis Iblis). Ketika keduanya dipisah,
dia berusaha untuk masuk menemuinya dan membunuhnya. Kemudian dia
menangis di sisinya serta mengaku bahwa dialah yang membunuhnya. Ketika
bapak si anak tersebut datang, diapun berkata: “Aku yang membunuhnya,
aku minta kepadamu dengan nama Allah l untuk meng-qishash-ku.” Tapi
bapak si anak ini memaafkannya. Maka orang ini kemudian melakukan haji
dan menadzarkan pahala hajinya bagi anak tersebut.
Dan yang lebih menjijikkan dari ini adalah ada seorang (dari kalangan
Shufiyah, pen.) melakukan perbuatan nista (yakni liwath/homoseksual)
dengan seorang anak kecil. Kemudian dia naik ke atap rumah –kebetulan
rumahnya di atas laut– dan dia lemparkan dirinya (bunuh diri) seraya
membaca ayat Allah k:
“Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu.” (Al-Baqarah: 54)
Demikianlah keadaan Shufiyah. Masih banyak lagi kenistaan dan
kebobrokan mereka, yakni dalam masalah wanita….” (Al-Mushara’ah, hal.
378-379, dengan sedikit perubahan)
Hendaknya seorang muslim menjaga agamanya dan mendasari setiap
amalnya dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Janganlah seseorang beramal
hanya berdasarkan akal dan perasaan semata. Allah l berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb kalian.” (Al-A’raf: 3)