Headline News

Tanggal 17 Mei 2015, Majelis Fityatul Mustahibbin akan mengadakan Walimah Tasmiyah dalam rangka memperingati hari Isra Mi'raj 2015.. Semangat Kawan!!!!

Jumat, 31 Mei 2013

Pelajaran dari tragedi cinta harta, tahta, dan wanita

Manusia yang terobsesi dengan cinta kekuasaan, harta dan wanita, pasti akhir perjalanan sejarah kehidupannya akan menjadi sangat kelam.
Bahkan di akherat tinggal penyesalan. Itu telah difirmankan dalm Al-Qur’an, ungkapan orang yang menyesal:

{مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ (28) هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ} [الحاقة: 28، 29]

28. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku.
29. telah hilang kekuasaanku daripadaku.” (QS Al-Haaqqah/ 69: 28, 29)
Dalam kenyataan hidup sekarang pun sudah dapat dilihat. Inilah ulasannya.

Terkadang manusia tak  pernah mengerti dan memahami, bahwa kehidupan di dunia pasti akan berakhir. Siapapun dan apapun di dunia ini, pasti ada batas waktunya. Tidak ada yang kekal. Tidak ada yang abadi. Segalanya akan mencapai batas akhir.
Pengalaman sejarah kehidupan memberikan pelajaran yang sangat berharga. Bagi mereka yang bisa memahami dan mengerti tentang kehidupan. Banyak pelajaran yang sangat berharga, dan memberikan manfaat yang tidak ada bandingnya.
Jika seseorang dapat memetik pelajaran itu, maka diujung kehidupannya akan menjadi manusia yang mulia. Sebaliknya, manusia yang gagal dan tidak dapat mengambil pelajaran dari semua fenomena itu, nasibnya akan menjadi sangat nista dan hina.
Misalnya, orang yang memiliki obsesi dengan kehidupan duniawi, dan menjadikan kehidupan duniawi tanpa batas, dan puncak segala kehidupannya. Manusia itu menjadi sangat mencintai kekuasaan, harta, dan kenikmatan sex (farj).
Seluruh tujuan hidupnya hanya diarahkan  cintanya hanya kepada kekuasaan, harta, dan wanita, sebagai puncak tujuan hidupnya. Betapapun terkadang dibungkus dengan nilai-nilai agama.
Seluruh amalnya (bekerja) hanya diarahkan kepada mendapatkan kekuasaan,  harta, dan wanita. Orientasi hidupnya diarahkan kepada mencapai tujuan yang bersifat sementara, yaitu kekuasaan, harta dan wanita.
Trilogi (tahta, harta dan wanita) yang sangat menggoda dan selalu menjadi obsesi orang-orang yang tak bisa memahami dasar kehidupan yang paling mulia, selanjutnya akan terus didera oleh obsesi mendapatkan kekuasaan, harta, dan wanita. Mereka tak akan pernah mendapatkan kebahagiaan. Selamanya.
Tetapi, selamanya cinta kepada kekuasaan, harta, dan wanita, tak pernah bisa melahirkan harmoni. Justeru manusia akan terperosok ke lembah yang sangat kotor dan menjijikkan. Menjadi manusia yang paling hina dina. Tak akan pernah mendapatkan kemuliaan. Semua manusia yang terobsesi dengan cinta kekuasaan, harta dan wanita, pasti akhir perjalanan sejarah kehidupan akan menjadi sangat kelam.
Sekarang, ambillah contoh, yang paling absurd, yaitu Irjen Polisi Djoko Susilo, yang pernah memiliki jabatan dan kedudukan tinggi, dinilai cerdas, dan berdedikasi dalam kepolisian. Tetapi, ujung dari perjalanan hidupnya sangat mengenaskan. Ia tidak akan  pernah lupa sampai mati.
Kekuasaan, jabatan, harta dan wanita, menyebabkan Djoko Susilo menjadi manusia yang paling terpuruk, dan hina, dan tidak bermartabat. Obsesinya pupus, dan berakhir dengan sangat sedih. Harus dipenjara.
Kekuasaan yang digenggamnya tanggal. Hartanya semua  berpisah, dan tidak dapat menolongnya, serta tidak berguna sedikitpun. Bahkan, hartanya sekarang membebaninya, dan harus membuat penyesalan yang tanpa henti-henti. Sungguh sangat tragis.
Isteri-isterinya tak dapat dinikmatinya. Djoko  Susilo harus tinggal dalam penjara sendirian. Isterinya tentu tak  pernah mengerti bahwa suaminya akan bernasib seperti yang mereka lihat sekarang ini. Isterinya yang cantik, hanya bisa menatapnya di balik  penjara. Sungguh sangat luar biasa pelajaran yang dapat dipetik dari Irjen Pol Djoko Susilo.
Seperti juga para  seleberitis yang sekarang berkiprah di dunia kekuasaan, yang bergelimang dengan harta. Ujung sangat tragis. Mereka umumnya harus berpisah dengan keluarganya (suami/isterinya). Tidak sedikit diantara mereka yang bercerai. Tidak selamanya tahta, harta, dan  wanita, bisa membuat manusia menjadi mulia dan berbahagia.
Baginda Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam, ketika ditawari oleh Abu Sofyan, pembesar kaum Qurays, tentang kekuasaan, harta, dan wanita, tidak menjadi tertarik, dan tetap memilih kemuliaan Islam. Itulah pelajaran yang sangat berharga dari Ulul Azmi. Semoga. Wallahu a’lam

Kamis, 30 Mei 2013

Kerusakan Lingkungan dan Dosa Manusia


ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(Qs. ar-Rum : 41)



Ayat di atas banyak mengandung pelajaran di dalam kehidupan kita, diantaranya adalah sebagai berikut :

Pelajaran Pertama : “ظَهَرَ الْفَسَادُ“ (Telah nampak kerusakan), yaitu bahwa kerusakan-kerusakan yang menimpa kehidupan manusia benar-benar telah terjadi dengan jelas dan bisa disaksikan secara langsung oleh semua lapisan masyarakat. Kerusakan tersebut mencakup kerusakan non fisik seperti kerusakan akhlaq, perilaku dan moral. Begitu juga mencakup kerusakan fisik; seperti bencana alam, menyebarnya berbagai macam penyakit, kerusakan ekosistem dan kerusakan infrastruktur.

Itu semua terjadi akibat perbuatan manusia yang durhaka kepada Allah, Dzat Yang Menciptakan alam semesta ini. Mereka berbuat syirik, menyembah selain Allah dan terus menerus bermaksiat kepada-Nya. Perbuatan syirik dan maksiat adalah sumber segala bentuk kerusakan yang terjadi di muka bumi ini. Kedua hal tersebutlah yang mendorong manusia untuk membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi ini. Allah berfirman :

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

“Janganlah kalian merusak bumi ini (dengan kesyirikan dan kemaksiatan), sesudah bumi ini diperbaiki (dengan tauhid dan ketaatan), maka sembahlah Allah dengan rasa takut dan mengharap. Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik, (yaitu orang-orang yang memperbaiki dunia ini dengan tauhid dan ketaatan kepada Allah).” (Qs. al-A’raf : 55-56)

Pelajaran Kedua : “ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ “ (di daratan dan lautan), artinya bahwa kerusakan ini sudah merambah semua tempat, baik di daratan; seperti tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, kebakaran hutan, banjir, polusi udara, dan pencemaran lingkungan, maupun kerusakan di lautan; seperti terjadinya tsunami, pencemaran air laut, terbakarnya kapal-kapal, tumpahnya minyak-minyak dari kapal tanker, matinya ikan-ikan dan terganggunya ekositem laut.

Pelajaran Ketiga : “ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ “ (akibat perbuatan tangan manusia), artinya kerusakan-kerusakan dan bencana-bencana alam yang terjadi bukanlah datang dari Allah secara langsung, agar manusia menjadi menderita dan binasa, tetapi yang menyebabkan terjadinya kerusakan dan munculnya bencana adalah manusia itu sendiri, karena Allah tidaklah mendhalimi manusia sedikitpun, tetapi manusia sendirilah yang mendhalimi diri mereka sendiri.

Manusialah yang merusak hutan-hutan dengan menebang pohon-pohonnya dan membakarnya, manusialah yang merubah tanah-tanah yang subur menjadi apartemen-apartemen dan pusat-pusat perbelanjaan, hal itu diperparah dengan sampah-sampah yang dibuang di sungai-sungai, sehingga terjadilah banjir di mana-mana. Manusialah yang mendirikan pabrik-pabrik yang mengeluarkan asap-asap beracun dan menjadikan sungai-sungai tercemar dengan limbah industri dan sisa insektisida. Manusialah yang memproduksi kendaran bermotor secara besar-besaran, manusialah yang membuat pabrik-pabrik rokok dan mengisapnya sehingga udara menjadi tercemar. Semua itu bisa memicu munculnya berbagai macam penyakit, seperti penyakit paru-paru, mata perih, gangguan pernafasan, kanker kulit dan penyakit asma.

Pelajaran keempat : “ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا“ (supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka), artinya bahwa kerusakan-kerusakan dan musibah-musibah yang terjadi terus-menerus itu merupakan adzab Allah yang ditimpakan kepada manusia karena perbuatan mereka yang bermaksiat kepada Allah. Inilah yang disebut oleh para ulama sebagai “Al- Jaza’ Min Jinsi Al-Amal “ (balasan itu sesuai dengan perbuatan). Manusia yang merusak, maka manusialah yang menanggung akibat perbuatannya sendiri.

Yang perlu dicatat bahwa Allah menimpakan musibah kepada manusia akibat “sebagian“ perbuatan manusia. Jadi Allah hanya membalas sebagian perbuatan maksiat manusia. Ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada manusia. Sifat Allah ini lebih mendominasi dari sifat Adil. Kalau Allah menghukum manusia sesuai dengan kadar maksiatnya, maka niscaya manusia akan binasa semuanya dan dunia ini akan hancur lebur. Allah berfirman :

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ

“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun. (Qs. Fathir : 45)

Tetapi Allah Maha Pengampun dan Maha Pemaaf, memaafkan sebagian dosa-dosa manusia, sebagaimana firman Allah :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“ Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).( Qs. asy-Syura : 30)

Pelajaran Kelima: عَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ” (agar mereka kembali), yaitu ketika Allah menimpakan musibah dan penyakit kepada manusia di dalam kehidupan dunia ini tidaklah bertujuan agar manusia menjadi sengsara, tetapi agar manusia mengambil pelajaran dari musibah tersebut dan kembali kepada ajaran Allah, agar manusia menyadari bahwa hidup yang dipenuhi dengan dosa dan maksiat akan membawa malapetaka, musibah, muculnya berbagai macam penyakit dan kerusakan dimana-mana. Dan sebaliknya bahwa hidup yang diisi dengan ketaatan akan mendatangkan berkah, perbaikan-perbaikan, kesehatan jasmani ruhani dan kebahagian dunia akhirat.

Oleh karenanya, kita semua berharap mudah-mudahan musibah-musibah yang terjadi di sekiling kita ini, dan penyakit-penyakit yang kita derita selama ini bisa menggerakkan hati dan jiwa kita untuk kembali kepada ajaran Allah dengan memperbaharui tauhid dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhanu Wata’ala. Amin.

Jumat, 24 Mei 2013

Wali-Wali Allah Beserta Karamah-Karamah Mereka

Orang Muslim beriman bahwa Allah Ta'ala mempunyai wali-wali dari hamba-hamba-Nya yang Dia pilih untuk beribadah kepada-Nya, menjadikan mereka taat kepada-Nya, memuliakan mereka dengan memberikan cinta-Nya kepada mereka, dan memberikan karamah-karamah-Nya kepada mereka.
Allah Ta'ala adalah wali mereka yang mencintai dan mendekatkan mereka. Sedang, mereka adalah wali-wali Allah Ta'ala yang mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, memerintah dengan perintah-Nya, melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, melarang dengan larangan-Nya, mencintai dengan cinta-Nya, dan marah dengan kemarahan-Nya.
Jika mereka meminta sesuatu kepada Allah Ta'ala, maka Dia memberikan permintaan mereka. Jika mereka meminta pertolongan kepda Allah Ta'ala, maka Dia menolong mereka. Jika mereka meminta perlindungan kepada Allah Ta'ala, maka Dia melindungi mereka. Mereka adalah orang-orang beriman, orang-orang bertakwa, orang-orang yang memiliki karamah, dan orang-orang yang memiliki khabar gembira di dunia dan akhirat.
Setiap orang mukmin dan bertakwa adalah wali Allah Ta'ala. Hanya saja, tingkatan mereka berbeda tergantung kepada ketakwaaan mereka dan keimanan mereka. Siapa saja yang beriman dan ketakwaannya sempurna, maka kedudukannya di sisi Allah Ta'ala tinggi dan karamah-Nya lengkap. Pemimpin para wali adalah para rasul dan para nabi. Dan sesudah mereka adalah kaum Mukminin.
Karamah-karamah yang terjadi kepada wali-wali Allah Ta'ala dari kaum Mukminin, seperti makanan sedikit menjadi banyak, atau menyembuhkan sakit, atau menyelam di laut, atau tidak terbakar oleh api, adalah sejenis mukjizat. Bedanya, mukjizat terjadi setelah adanya tantangan. Contoh tantangan ialah seperti tantangan Rasulullah saw. kepada orang-orang Quraisy, "Bagaimana menurut kalian, jika aku mendatangkan ini dan itu, apakah kalian membenarkanku? Jika tidak, Allah akan menyiksa kalian karena kalian tidak beriman, padahal mukjizat telah diperlihatkan kepada kalian." Sedang, karamah tidak. Karamah terbesar ialah konsisten melaksanakan perintah-perintah yang disyariatkan, dan menjauhi hal-hal haram serta larangan-larangan.
Dalil-Dalil Wahyu
  1. Penjelasan Allah Ta'ala tentang wali-wali-Nya, dan karamah-karamah mereka dalam firman-firman-Nya, seperti firman-firman-Nya berikut.
    • "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah yang demikian itu adalah kemenangan yang besar." (Yunus: 62-64)
    • "Allah pelindung (wali) orang-orang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)." (Al-Baqarah: 257)
    • "Dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai(nya), hanyalah orang-orang yang bertakwa." (Al-Anfal: 34)
    • "Sesungguhnya pelindungku (waliku) ialah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih." (Al-A'raf: 196)
    • "Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkinan dan kekejian sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih." (Yusuf: 24)
    • "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka." (Al-Isra': 65)
    • "Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, ‘Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah'." (Ali Imran: 37)
    • "Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul. (Ingatlah) ketika ia lari ke kapal yang penuh muatan. Kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. Maka ia ditelah oleh ikan paus besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah. Niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit." (As-Shaffaat: 139-144)
    • "Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu." (Maryam: 24-26)
    • "Kami berfirman, ‘Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.' Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi." (Al-Anbiya: 69-70)
    • "Atau kamu kira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, 'Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).' Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu." (Al-Kahfi: 9-12)
  2. Penjelasan Rasulullah saw. tentang wali-wali Allah Ta'ala, dan karomah-karomahnya mereka dalam hadits-haditsnya, seperti dalam hadits-hadits berikut ini.
    • Sabda Rasulullah saw. yang beliau riwayatkan dari Allah Azza wa Jalla yang berfirman, "Siapa memusuhi wali-Ku, Aku mengumumkan perang terhadapnya. Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan sesuatau yang paling aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika aku telah menintainya, Aku menjadi telinganya di mana ia mendengar dengannya, Aku menjadi matanya di mana ia melihat dengannya, Aku menjadi tangannya di mana ia bertindak dengannya, dan Aku menjadi kakinya di mana ia berjalan dengannya. Jika ia meminta sesuatu kepada-Ku, Aku pasti memberi permintaannya. Jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya." (Diriwayatkan Al-Bukhari).
    • Sabda Rasulullah saw. dalam haditsnya yang beliau riwayatkan dari Allah Ta'ala yang berfirman, "Aku pasti balas dendam bagi wali-wali-Ku seperti balas dendamnya singa yang marah."
    • "Sesungguhnya Allah mempunyai orang-orang jika mereka bersumpah dengan Allah, maka Allah pasti mengabulkan sumpahnya." (Muttafaq Alaih).
    • "Sungguh pada umat-umat sebelum kalian terdapat orang-orang muhaddatsun (orang yang diberi ilham kebenaran di mulut mereka). Jika di umatku terdapat salah seorang dari mereka, maka dialah Umar bin Khaththab." (Muttafaq Alaih).
    • "Seorang wanita menyusui anaknya, kemudian ia melihat seorang laki-laki mengendarai kuda molek, ia pun berkata, ‘Ya Allah, jadikan anakku seperti itu.' Kemudian anak yang disusuinya menoleh ke arah orang tersebut, dan berkata, ‘Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia'." (Muttafaq Alaih). Ucapan anak yang masih menyusui tersebut adalah karamah bagi ayahnya, dan bagi dia sendiri.
    • Sabda Rasulullah saw. tentang kisah ahli ibadah Juraij, dan ibunya, ketika ibunya berkata, "Ya Allah, jangan matikan dia (Juraij) hingga Engkau memperlihatkan padanya wajah wanita-wanita pelacur." Allah Ta'ala mengabulkan doa ibu Juraij sebagai karamah dari-Nya kepadanya. Ahli ibadah, Juraij berkata -ketika ia dituduh bahwa bayi haram adalah anaknya- kepada bayi tersebut, "Siapa ayahmu, nak?" Bayi tersebut menjawab, "Ayahku adalah pengembala kambing." (Diriwayatkan Al-Bukhari). Ucapan bayi tersebut adalah karamah bagi Juraij.
    • Sabda Rasulullah saw. tentang tiga sekawan yang tertahan di dalam gua karena batu menutup pintunya, kemudian mereka berdoa kepada Allah Ta'ala dan mendekat kepada-Nya dengan amal perbuatan mereka. Allah Ta'ala pun mengabulkan doa mereka, dan membukakan pintu gua bagi mereka, hingga mereka dapat keluar daripadanya dengan selamat. Itu adalah karomah mereka. (Muttafaq Alaih).
    • Sabda Rasulullah saw. tentang pendeta dengan muridnya. Beliau berkisah bahwa murid pendeta tersebut melempar batu ke hewan yang menghalangi perjalanan manusia, kemudian hewan tersebut mati, dan manusia pun bisa berjalan kembali dengan normal. Itu adalah karamah bagi murid tersebut. Raja ketika itu berupaya membunuh sang murid dengan berbagai cara, namun semuanya gagal. Bahkan, mereka melemparkanya dari gunung tinggi, namun sang murid tidak mati. Raja melempar sang murid ke laut, namun ia keluar daripadanya dengan berjalan dan tidak mati. Itun semua adalah karamah bagi sang murid yang beriman dan shalih. (Diriwayatkan Al-Bukhari).
  3. Penglihatan langsung ribuan ulama terhadap para wali dan karamah-karamah mereka yang tidak bisa dihitung (sebagian besar karomah-karomah ini disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, Sunan-Sunan yang shahih, dan atsar-atsar yang diterima dengan mutawatir).
    • Diriwayatkan bahwa para malaikat mengucapkan salam kepada Imran bin Hushain r.a.
    • Salman dan Abu Darda' Radhiyallahu Anhuma makan di salah satu piring, kemudian piring tersebut, atau makanan yang ada di dalamnya bertasbih.
    • Khabbab r.a. ditawan di Makkah, kemudian ia diberi anggur oleh seseorang yang kemudian ia makan, padahal di Makkah tidak ada anggur.
    • Al-Barra' bin Azib, jika ia bersumpah dengan sesuatu kepada Allah Ta'ala, maka Dia mengabulkannya. Di Perang Al-Qadisiyyah, ia bersumpah kepada Allah Ta'ala, agar Dia membuat kaum Muslimin bisa memenggal kepala orang-orang musyrikin. Dan ia orang yang pertama kali syahid di dalamnya. Permintaan Al-Barra' bin Azib tersebut betul-betul terkabul.
    • Ketika Umar bin Khaththab r.a. berkhutbah di atas mimbar Rasulullah saw., tiba-tiba ia berkata "Hai Sariyah, ke gunung! Hai Sariyah, ke gunung!" Umar bin Khaththab memberi pengarahan kepada komandan pasukan yang bernama Sariyah, dan Sariyah pun mendengar suara Umar bin Khaththab. Kemudian pasukan bergerak ke gunung. Itu adalah kemenangan mereka, dan kekalahan musuh-musuh mereka, kaum musyrikin. Ketika Sariyah pulang ke Madinah, ia bercerita kepada Umar bin Khaththab dan para sahabat, bahwa ia mendengar suara Umar bin Khaththab yang diucapkan di atas mimbar Rasulullah saw.
    • Jika Al-Ala' bin Al-Hadhrami r.a. berkata dalam doanya, "Wahai Dzat Yang Maha Mengetahui, Wahai Dzat Yang Maha Bijaksana, Wahai Dzat Yang Maha Tinggi dan Wahai Dzat Yang Maha Agung," maka doanya dikabulkan Allah Ta'ala. Bahkan, ketika ia dan pasukannya mengarungi lautan, maka pelana kuda-kuda mereka tidak basah.
    • Hasan Basri mendoakan keburukan kepada orang yang menyakitinya, kemudian orang tersebut meninggal dunia saat itu juga.
    • Salah seorang dari An-Nakh'i sedang mengendarai keledainya, tiba-tiba keledainya mati dalam perjalanannya. Kemudian ia berwudhu, shalat dua rakaat, dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla. Tiba-tiba Allah menghidupkan kembali keledainya, kemudian ia letakkan barangnya di atas keledainya lagi. Dan karamah-karamah lainnya yang tidak bisa dihitung, dan disaksikan ribuan manusia, bahkan jutaan manusia.
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 75-81.

Al Wasilah (Perantaraan)

Orang Muslim beriman bahwa Allah Ta'ala menyukai amal perbuatan yang paling shalih, dan paling baik. Dia mencintai hamba-hamba-Nya yang shalilh dan menyuruh mereka mendekat kepada-Nya, mencari kecintaan kepada-Nya, dan mencari perantaraan kepada-Nya.
Oleh karena itu, orang Muslim bertaqarrub (mendekat) kepada Allah Ta'ala dengan amal perbuatan yang shalih, dan perkataan-perkatan yang baik. Ia meminta kepada Allah Ta'ala dan mendekat kepada-Nya dengan Asmaul Husna-Nya, sifat-sifat-Nya yang maha tinggi, beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya, mencintai-Nya dan mencintai Rasul-Nya, mencintai orang-orang shalih, dan mencintai seluruh kaum mukminin. Ia mendekat kepada Allah Ta'ala dengan ibadah-ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan ibadah-ibadah sunnah. Ia juga mendekat kepada Allah Ta'ala dengan meninggalkan hal-hal haram, dan menjauhi larangan-larangan.
Ia tidak meminta kepada Allah Ta'ala dengan kedudukan salah seorang dari manusia, atau dengan amal perbuatan salah seorang dari hamba-hamba-Nya. Karena kedudukan seseorang itu bukan karena usahanya, dan amal perbuatan seseorang itu bukan berasal dari amal perbuatannya, sehingga ia harus meminta kepada Allah Ta'ala dengannya, atau mempersembahkan perantaraan di depan-Nya dengannya.
Allah Ta'ala tidak menyuruh hamba-hamba-Nya bertaqarrub (mendekat) kepada-Nya dengan selain amal perbuatan mereka, dan selain kebersihan ruhani mereka, namun dengan iman, dan amal shalih, karena dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil akal.
Dalil-Dalil Wahyu
  1. Penjelasan Allah Ta'ala tentang hal tersebut dalam firman-firman-Nya seperti dalam firman-firman-Nya berikut ini.
    • "Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya." (Fathir: 10)
    • "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih." (Al-Mukminun: 51)
    • "Dan Kami masukkan dia ke dalam rahmat Kami, karena sesungguhnya dia termasuk orang-orang shalih." (Al-Anbiya': 75)
    • "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya." (Al-Maidah: 35)
    • "Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)." (Al-Isra': 57)
    • "Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kalian, dan mengampuni dosa-dosa kalian Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali Imran: 31)
    • "Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah) ." (Ali Imran: 53)
    • "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu), ‘Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian', maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti." (Ali Imran: 193)
    • "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-A'raaf: 180)
    • "Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)." (Al-Alaq: 5)
  2. Penjelasan Rasulullah saw. tentang hal tersebut dalam sabda-sabdanya, seperti sabda-sabdanya berikut ini.
    • "Sesungguhnya Allah itu baik yang tidak menerima kecuali yang baik-baik." (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi dan Ahmad).
    • "Kenalilah Allah pada saat sejahtera, Allah pasti mengenalmu pada saat kesulitan." (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia men-shahih-kannya).
    • "Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga aku mencintainya." (Mutafaq Alaih).
    • Sabda Rasulullah saw. dalam hadits qudsi, "Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat padanya satu hasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat padanya sedepa. Jika datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku datang kepadanya dengan lari-lari kecil." (Diriwayatkan Al-Bukhari).
    • Dalam hadits lain, Rasulullah saw. bercerita tentang orang-orang yang tertahan di dalam gua karena batu menutup pintunya. Lalu, salah seorang dari mereka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan baktinya kepada kedua orang tuanya, orang kedua dengan meninggalkan apa yang diharamkan Allah Ta'ala padanya, dan orang ketiga dengan mengembalikan hak kepada pemiliknya padahal ia amat menginginkannya. Ini terjadi setelah salah seorang dari mereka berkata kepada mereka, "Ingat-ingatlah amal perbuatan shalih yang kalian kerjakan karena Allah, kemudian berdoalah kalian kepada Allah dengan amal-amal tersebut. Mudah-mudahan menghilangkan musibah ini dari kalian." Kemudian mereka berdoa, dan mendekat (tawassul) kepada Allah dengan amal perbuatannya masing-masing, hingga kemudian Allah membuka gua untuk mereka, dan mereka bisa keluar daripadanya dengan selamat. (Muttafaq Alaih).
    • "Saat terdekat seorang hamba dengan Tuhannya ialah ketika ia sujud." (Diriwayatkan Muslim dan lain-lainnya).
    • "Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dengan semua nama-Mu yang Engkau namakan Diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau Engkau rahasiakan di dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, hendaklah Engkau menjadikan Al-Qur'an yang agung sebagai taman hatiku, sebagai cahaya dadaku, sebagai penghilang kesedihanku, dan sebagai pelipur kecemasanku, dan kekalutanku." (Diriwayatkan Ahmad dengan sanad yang baik).
    • "Sungguh orang ini telah berdoa kepada Allah dengan nama Allah yang terbesar di mana Allah tidak diminta dengannya melainkan Dia mengabulkan." (Diriwayatkan Ahmad).
  3. Kisah-kisah tawassul para nabi disebutkan dalam Al-Qur'an Al-Karim, dan bahwa mereka bertawassul dengan nama-nama Allah Ta'ala, sifat-sifat-Nya, iman kepada-Nya, amal shalih, dan tidak dengan selain itu semua.
    • Nabi Yusuf Alaihis-Salam berkata dengan tawassulnya, "Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan, dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi. Wahai Pencipta langit dan bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih." (Yusuf: 101).
    • Dzun Nun (Nabi Yunus) Alaihis-Salam berkata dengan tawassulnya, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku, maka Allah mengampuninya." (Al-Qashash: 16).
    • Nabi Musa Alaihis-Salam berkata dengan tawassulnya, "Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab." (Ghafir: 27).
    • Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail berkata dalam tawassul keduanya, "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 127).
    • Adam dan Hawa berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (Al-A'raaf: 23)
Dalil-Dalil Akal
  1. Kemahakayaan Allah Ta'ala, dan kemiskinan hamba menghendaki hamba yang miskin mendekat kepada Allah Yang Mahakaya, agar hamba yang miskin dan lemah tersebut bisa selamat dari apa yang ia takutkan, dan beruntung dengan apa yang dicintai Allah, dan disenangi-Nya.
  2. Ketidaktahuan seorang hamba terhadap apa saja yang dicintai AllahTa'ala, dan perkataan dan perbuatan yang dibenci-Nya menghendaki bahwa pendekatan itu hanya terbatas pada apa saja yang telah disyariatkan Allah Ta'ala, dan dijelaskan Rasul-Nya baik berupa perkataan, dan perbuatan yang baik yang harus dikerjakan, atau perkataan, dan amal perbuatan kotor yang harus ditinggalkan.
  3. Kedudukan yang dimiliki seseorang yang bukan karena usahanya, dan amal perbuatannya yang bukan hasil kerja kedua tangannya itu menghendakinya mendekat kepada Allah Ta'ala dengan amal perbuatannya. Karena, kedudukan seseorang itu - kendati setinggi apa pun - itu tidak bisa menjadi sarana pendekat bagi orang lain kepada Allah Ta'ala. Kecuali jika orang tersebut beramal dengan anggota badannya, atau hartanya untuk mendapatkan kedudukan pemilik kedudukan tersebut. Maka, ketika itulah ia meminta kedudukan tersebut kepada Allah dengan amal perbuatannya, karena amal perbuatan tersebut menjadi usahanya, dan hasil kerja kedua tangannya. Ini dengan syarat, dari awal ia memaksudkan amal perbuatan itu ikhlas karena Allah Ta'ala, dan mencari keridhaan-Nya.
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 71-75.

” Hanya Allah Yang Berhak Menghalalkan Dan Mengharamkan “

Allah Subhanahu wata’ala memiliki hak-hak yang khusus. Di antara hak khusus bagi Allah Subhanahu wata’ala adalah hak tasyri’, yakni menetapkan syariat yang wajib dijalani oleh makhluk-Nya. Di antara perkara tasyri’ adalah penetapan halal dan haram.
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
 “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan syariat untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak adaketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (asy-Syura: 21)
Tiada yang berhak menghalalkan dan mengharamkan selain Allah Subhanahu wata’ala. Tidak ada seorang pun yang boleh menghalalkan kecuali yang telah dihalalkan oleh Allah l dan tidak mengharamkan kecuali yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
 “Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘ini halal dan  ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (an-Nahl: 116)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Masuk dalam kandungan ayat ini semua yang membuat kebid’ahan yang tidak ada sandarannya dalam syariat dan semua yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal dengan ra’yu (akal) dan selera hawa nafsunya.” (Tafsir al-Qur’anil Azhim)
Asy-Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Salafus shalih  sangat berhati-hati dari ucapan: ini halal dan yang ini haram, karena takutnya mereka akan kandungan ayat ini.” Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Al- Imam Abu Muhammad ad-Darimi dalam Musnad-nya berkata, ‘Telah mengabarkan kepada kami Harun dari Hafsh dari al-A’mas: Aku tidak pernah mendengar Ibrahim berkata: ini halal dan ini haram, tetapi mereka berkata: mereka membencinya, mereka menyatakan sunnahnya…’.” (Tafsir Adwaul Bayan) Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah, “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)
Allah Subhanahu wata’ala telah melarang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu tanpa dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengabarkan bahwa menghalalkan dan mengharamkan sesuatu tanpa dalil adalah kedustaan atas nama Allah Subhanahu wata’ala. Sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan pula bahwa barang siapa yang mewajibkan sesuatu tanpa dalil atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil maka telah menjadikan dirinya sebagai sekutu bagi Allah Subhanahu wata’ala dalam perkara yang merupakan kekhususan Allah Subhanahu wata’ala, yaitu penetapan syariat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
 “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (asy-Syura: 21)
Dan barang siapa yang taat kepada penetap syariat selain Allah Subhanahu wata’ala maka dia telah menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah l, berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Jika kamu menaati mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (al-An’am: 121)
Yakni janganlah kamu menaati orang yang menghalalkan sesuatu yang Allah Subhanahu wata’ala haramkan berupa bangkai. Barang
siapa yang menaati mereka maka dia adalah musyrik.
Termasuk Syirik
Allah Subhanahu wata’ala menegaskan bahwa seorang yang menaati ahbar (orang berilmu dari kalangan Yahudi) dan ruhban (tukang ibadah dari kalangan Nasrani) dalam menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh AllahSubhanahu wata’ala atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wata’ala berarti telah menjadikan mereka sebagai Rabb selain AllahSubhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
 “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh  menyembah Ilah Yang Maha Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah:31)
Ketika ‘Adi bin Hatim mendengar ayat ini, beliau berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak beribadah kepada mereka.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada beliau, “Bukankah mereka telah menghalalkan apa yang telah Allah Subhanahu wata’ala haramkan kemudian kalian mengikuti mereka? Mereka juga mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wata’ala kemudian kalian pun ikut mengharamkannya?” Adi berkata, “Benar demikian.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Itulah bentuk peribadahan kalian kepada mereka.” (HR. at-Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Asy-Syaikh Abdurranman bin Hasan berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa taat kepada ahbar dan ruhban dalam berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala adalah bentuk peribadahan kepada mereka kepada selain Allah Subhanahu wata’ala dan ini merupakan syirik besar yang tidak akan Allah Subhanahu wata’ala ampuni berdasarkan akhir ayat:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
 ‘Padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.’ (at-Taubah: 31)
Ayat yang semakna dengan ini, firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
 ‘Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawankawannya agar mereka membantah kamu dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.’ (al-An’am: 121).”
Kelompok yang Banyak Terjatuh dalam Perbuatan Ini
Perbuatan sepeti ini banyak dilakukan oleh orang-orang yang taklid kepada seorang tokoh tertentu, seperti halnya Sufi dan lainnya, tidak mau mengindahkan dalil jika menyelisihi tokoh yang ia taklidi. Inilah satu bentuk perbuatan syirik. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Di antara bentuk menjadikan ahbar dan ruhban sebagai sesembahan adalah menaati ulama yang sesat dalam perkara-perkara bid’ah dalam agama yang mereka ada-adakan, khurafat, dan kesesatan lainnya, seperti perayaan maulid, tarekat-tarekat sufi, dan tawasul kepada orang-orang mati, serta berdoa kepada mereka.” (Dari Irsyad ila Tashihil Itiqad)
Penulis at-Tamhid Syarah Kitab at-Tauhid menerangkan, “Dan (amalan seperti ini) ada di umat Islam, yaitu di kalangan sufi (shufiyah) atau orangorang yang ghuluw dalam tasawuf, ghuluw dalam mengultuskan tokoh-tokoh mereka. Mereka menaati syaikh dan wali-wali mereka yang mereka anggap wali, menaati mereka dalam merubah agama Allah l.” (at-Tamhid, dengan sedikit perubahan)
Hukum Menaati Ulama dan Umara’ (Penguasa)
Ketaatan kepada ulama dan umara ada dua keadaan:
1. Menaati mereka dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ini hukumnya wajib.
2 . Menaati mereka dalam menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang halalkan dalam keadaan ia meyakininya, adalah kesyirikan. Adapun orang yang mengikuti mereka ada beberapa keadaan:
a. Dia mengetahui bahwa mereka menyelisihi perintah Allah Subhanahu wata’ala dan dia tetap menaatinya serta meyakini kebenarannya, maka ini adalah syirik besar yang mengeluarkan dari Islam.
b. Dia menaati mereka dalam keadaan meyakini bahwa itu adalah haram dan meyakini itu adalah salah, tetapi ia menaatinya karena hawa nafsu, maka ini adalah syirik kecil.
c. Ia tidak mengetahui bahwa mereka menyelisihi syariat Allah Subhanahu wata’ala, namun ia menyangka mereka di atas kebenaran maka ini adalah uzur kalau memang orang seperti dia tidak tahu hal itu. (Lihat I’anatul Mustafid Syarah Kitab at-Tauhid)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Ketahuilah bahwa mengikuti ulama dan umara dalam menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan sebaliknya, ada tiga macam:
a. Mengikuti mereka dalam perkara tersebut dalam keadaan meridhai ucapan mereka, serta membenci hukum Allah Subhanahu wata’ala, maka orang ini kafir karena telah membenci apa yang Allah Subhanahu wata’ala turunkan.
b. Mengikuti mereka dalam keadaan dia ridha kepada hukum Allah Subhanahu wata’ala dan tahu bahwa hukum Allah Subhanahu wata’ala lebih baik, lebih tinggi, dan lebih bermaslahat bagi hamba dan negeri, namun karena hawa nafsu dia lebih memilihnya. Orang ini tidaklah kafir namun namun dia menjadi orang fasik pantas mendapat hukuman seperti hukuman orang bermaksiat lainnya.
c. Dia seorang yang jahil (bodoh) dan mengira itu adalah hukum Allah Subhanahu wata’ala. Golongan ini terbagi dua:
• Seorang yang memungkinkan untuk mengetahui al-haq sendirian, namun dia orang yang lalai maka dia seorang yang berdosa, karena Allah Subhanahu wata’ala telah memerintah bertanya kepada ulama ketika tidak ada.
• Dia bukan seorang alim dan tidak memungkinkan belajar, maka dia mengikuti mereka karena taklid. Dia menyangka itu adalah haq. Orang ini tidaklah berdosa karena telah melakukan apa yang diperintahkan dan dia mendapatkan uzur dalam perbuatannya. (Disadur dari al-Qaulul Mufid)
Seorang muslim hendaknya memberikan ketaatan yang mutlak hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Tidak dibolehkan menaati makhluk kecuali dalam perkara yang dibenarkan secara syar’i. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
 “Wahai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada rasul-Nya, serta kepada ulil amri di antara kalian.” (an-Nisa: 59)
Asy-Syaikh Abdurahman as-Sa’di menerangkan, “Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan untuk taat kepada ulul amri, yaitu orangorang yang mengurusi manusia baik kalangan umara, pemerintah, atau mufti (ahli fatwa), karena tidak akan lurus urusan agama dan dunia manusia kecuali dengan taat dan tunduk kepada mereka, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan mengharapkan apa yang di sisi Allah Subhanahu wata’ala, tetapi dengan syarat mereka tidak memerintah untuk berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Wallahu a’lam.

Jumat, 10 Mei 2013

Membujang Ala Sufi

Salah satu ajaran menyimpang yang menonjol adalah tabattul (hidup membujang). Diyakini oleh penganut sufi, dengan “cara beragama” seperti ini, mereka lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah l. Benarkah?

Di antara nikmat dan tanda kekuasaan Allah l adalah disyariatkannya nikah, yang mana mendatangkan banyak maslahat dan manfaat bagi setiap individu dan masyarakatnya. Allah l berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Nikah termasuk nikmat Allah l yang agung. Allah l syariatkan bagi hamba-Nya dan menjadikannya sebagai sarana serta jalan menuju kemaslahatan dan manfaat yang tak terhingga….” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 4/331)
Bahkan Allah l menyebutnya dengan lafadz perintah dalam beberapa ayat. Allah l berfirman:
“Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud z, Rasulullah n berkata:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu untuk menikah hendaknya menikah, karena itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu, hendaknya berpuasa karena itu adalah pemutus syahwatnya.”
Ibnu ‘Abbas c berkata kepada Sa’id bin Jubair t: “Menikahlah, karena orang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya.” (Dibawakan oleh Al-Bukhari t dalam Shahih-nya)
Bahkan para ulama menyatakan, seorang yang khawatir terjatuh dalam zina maka dia wajib menikah. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Nikah menjadi wajib atas seorang yang khawatir terjatuh dalam zina jika meninggalkannya. Karena, itu adalah jalan bagi dia untuk menjaga diri dari perbuatan haram. Dalam keadaan seperti ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Jika seseorang telah perlu menikah dan khawatir terjatuh dalam kenistaan jika meninggalkannya, maka harus dia dahulukan dari amalan haji yang wajib.” (Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/258)
Seorang yang menikah dengan niat menjaga kehormatan dijamin oleh Allah l. Diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah z, Rasulullah n berkata:
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Tiga golongan yang Allah akan menolong mereka: budak yang hendak menebus dirinya, seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya, dan seorang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. An-Nasa`i, Kitabun Nikah, Bab Ma’unatullah An-Nakih Al-Ladzi Yuridul ‘Afaf, no. 3166)
Janganlah seseorang meninggalkan pernikahan karena mengikuti bisikan setan, dengan dibayangi kesulitan ekonomi, padahal dia telah sangat ingin menikah serta takut terjatuh dalam maksiat. Bertawakallah dengan disertai ikhtiar, karena Allah l menjamin orang yang benar-benar bertawakal kepada-Nya. Allah l berfirman:
“Barangsiapa yang bertawakal kepada-Nya pasti Dia akan menjadi Pencukupnya.” (Ath-Thalaq: 3)

Tabattul ala Shufiyah (Sufi)
Tabattul adalah meninggalkan wanita dan pernikahan dengan dalih untuk fokus beribadah kepada Allah l. Tabattul adalah keyakinan Shufiyah yang menyelisihi prinsip Islam.
Al-Imam Ahmad t berkata: “Hidup menyendiri bukanlah termasuk ajaran Islam.” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang mengajak untuk tidak menikah, maka dia telah menyeru kepada selain Islam. Jika seorang telah menikah, maka telah sempurna keislamannya.” (lihat ucapan beliau dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah t)
Apa yang beliau sebutkan didasari banyak dalil. Di antaranya, ketika ada tiga orang datang ke rumah sebagian istri Rasulullah n dan bertanya tentang ibadah beliau n. Ketika kembali, sebagian mereka menyatakan: “Aku akan puasa terus menerus dan tidak akan berbuka.” Yang lain berkata: “Aku akan shalat malam, tidak akan tidur.” Dan sebagian lagi berkata: “Aku tak akan menikah dengan wanita.” Ketika sampai ucapan ketiga orang ini kepada beliau n, beliau n berkata:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا: كَذَا وَكَذَا؟! لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kenapa ada orang-orang yang berkata ini dan itu?! Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam t berkata: “Berpaling dari istri dan anak (tidak mau menikah, pen.) bukanlah perkara yang dicintai Allah l dan Rasul-Nya. Bahkan bukan agama para nabi dan rasul. Allah l telah berfirman:
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau dan kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38) [Ucapan Ibnu Taimiyah t dinukil dari Taudhihul Ahkam]
Sehingga Al-Imam Asy-Syathibi t menyatakan bahwa meninggalkan nikah dengan niat sebagai ibadah termasuk bid’ah (yakni bid’ah tarkiyah). (Lihat Al-I’tisham karya Al-Imam Asy-Syathibi t)

Dalil-dalil yang Melarang Tabattul
Bahkan telah ada nash-nash khusus melarang tabattul. Dalam Ash-Shahihain, diriwayatkan bahwa Sa’d bin Abi Waqqash z berkata:
رَدَّ رَسُولُ اللهِ n عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ، وَلَوْ أُذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا
“Rasulullah n menolak permintaan Utsman bin Mazh’un untuk terus membujang. Kalau beliau mengizinkannya, niscaya kami akan mengebiri diri kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, Anas bin Malik z berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنْ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا وَيَقُولُ: تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Rasulullah memerintahkan kami untuk menikah dan melarang kami bertabattul. Beliau berkata: ‘Nikahilah oleh kalian wanita yang subur (calon banyak anak), karena aku akan berbangga kepada para nabi di hari kiamat dengan banyaknya kalian’.” (Hadits shahih riwayat Ahmad)

Bid’ah Tabattul Menjerumuskan Shufiyah ke dalam Kubangan Maksiat
Pemikiran bid’ah yang ada pada Shufiyah ini menjerumuskan mereka kepada perkara-perkara yang menghinakan. Kami akan sampaikan apa yang telah diterangkan Asy-Syaikh Muqbil t ketika menjelaskan kejelekan-kejelekan Shufiyah. Beliau t berkata:
“…Di antara khurafat Shufiyah adalah mereka mengharamkan atas diri mereka apa yang Allah l halalkan berupa menikah –padahal menikah merupakan sunnah para rasul–. Allah l berfirman dalam kitab-Nya:
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau serta kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Nabi kita n berkata:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dibuat cinta kepadaku dari dunia kalian minyak wangi dan wanita, serta dijadikan penyejuk mataku adalah shalat.”
Datang tiga orang kepada istri Nabi, bertanya tentang ibadah Nabi n. Ketika diberi kabar sepertinya mereka menganggap sedikit, maka sebagian mereka berkata: ‘Adapun saya, akan shalat malam dan tak akan tidur.’ Yang lain berkata: ‘Aku akan puasa dan tak akan berbuka.’ Yang lainnya lagi berkata: ‘Aku tak akan menikahi wanita.’ Nabi n datang dan diberi tahu tentang ucapan mereka ini. Beliaupun berkata:
أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kalian yang berkata demikian dan demikian, ketahuilah aku adalah orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah l dan paling bertakwa. Akan tetapi aku shalat malam dan tidur, aku berpuasa serta berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan berada di atas jalanku.”
Rabbul ‘Izzah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Ma`idah: 87)
Allah l berfirman dalam Al-Qur`an:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap shalat, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)
Mereka menahan diri mereka dari wanita (tidak mau menikah, pen.). Siapakah yang mereka ikuti? (Mereka) mengikuti tokoh-tokoh Nashrani dan ‘abid (para ahli ibadah) dari kalangan Yahudi.
Akan tetapi, ketika mereka enggan kepada wanita, apa yang mereka lakukan? Mereka terfitnah oleh amrad (laki-laki yang wajahnya mirip wanita). Sampai pernah terjadi, seorang (Shufi) kasmaran kepada seorang amrad (sebagaimana dalam kitab Talbis Iblis). Ketika keduanya dipisah, dia berusaha untuk masuk menemuinya dan membunuhnya. Kemudian dia menangis di sisinya serta mengaku bahwa dialah yang membunuhnya. Ketika bapak si anak tersebut datang, diapun berkata: “Aku yang membunuhnya, aku minta kepadamu dengan nama Allah l untuk meng-qishash-ku.” Tapi bapak si anak ini memaafkannya. Maka orang ini kemudian melakukan haji dan menadzarkan pahala hajinya bagi anak tersebut.
Dan yang lebih menjijikkan dari ini adalah ada seorang (dari kalangan Shufiyah, pen.) melakukan perbuatan nista (yakni liwath/homoseksual) dengan seorang anak kecil. Kemudian dia naik ke atap rumah –kebetulan rumahnya di atas laut– dan dia lemparkan dirinya (bunuh diri) seraya membaca ayat Allah k:
“Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu.” (Al-Baqarah: 54)
Demikianlah keadaan Shufiyah. Masih banyak lagi kenistaan dan kebobrokan mereka, yakni dalam masalah wanita….” (Al-Mushara’ah, hal. 378-379, dengan sedikit perubahan)
Hendaknya seorang muslim menjaga agamanya dan mendasari setiap amalnya dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Janganlah seseorang beramal hanya berdasarkan akal dan perasaan semata. Allah l berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb kalian.” (Al-A’raf: 3)

Bom Bunuh diri dalam Timbangan Syariat

Semangat tapi tanpa ilmu, penyakit inilah yang banyak menjangkiti kalangan aktivis dan pemuda Islam. Lahirlah kemudian berbagai macam aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Penyanderaan, bom bunuh diri, penyerangan terhadap warga negara dan kepentingan asing,  pemberontakan terhadap pemerintah muslim adalah sederet contoh tindakan yang dibungkus dengan nama jihad. Akibatnya, jihad yang syar’i justru dipandang sebelah mata oleh umat.
Jihad di dalam Islam merupakan salah satu amalan mulia, bahkan termasuk yang paling dimuliakan dalam Islam. Sebab, dengan amalan ini seorang muslim harus rela mengorbankan segala yang dimilikinya berupa harta, jiwa, tenaga, waktu, dan segala kesenangan dunia untuk menggapai keridhaan Allah U. Allah I berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah. Lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111)
Sesuai maksud dari ayat di atas, amalan jihad merupakan salah satu jenis ibadah yang disyariatkan oleh Allah U. Oleh karena itu, di dalam mengamalkannya pun harus memenuhi kriteria diterimanya suatu amalan. Yaitu ikhlas dalam beramal dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah r. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan jihad tersebut tertolak. Hal ini telah disebutkan oleh Rasulullah r sebagaimana dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari z: Bahwa ada seorang Badui datang kepada Nabi r lalu bertanya: “Ada seseorang yang berperang karena mengharapkan ghanimah (harta rampasan perang, red), ada seseorang yang berperang agar namanya disebut-sebut, dan ada seseorang yang berperang agar mendapatkan sanjungan, manakah yang disebut fi sabilillah?” Maka Rasulullah r  menjawab:
“Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah itulah yang tinggi, maka itulah fi sabilillah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya dari Abu Dzabyan, dia berkata: Aku telah mendengar Usamah bin Zaid c bercerita: “Bahwa Rasulullah r telah mengutus kami (memerangi kaum musyrikin) ke daerah Huraqah. Lalu kami pun menyerang mereka di pagi hari secara tiba-tiba. Akhirnya, kami dapat mengalahkan mereka. Kemudian aku bersama salah seorang Anshar mengejar salah satu dari mereka (yang melarikan diri, red). Ketika kami mendapatinya dan hendak membunuhnya, dia berkata: ‘Laa ilaaha illallah’. Maka orang Anshar tersebut menahan pedangnya, namun aku (tetap) membunuhnya dengan tombakku hingga mati. Maka ketika kami kembali, sampailah (berita ini) kepada Nabi r, lalu beliau berkata: ‘Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallah?’. Aku menjawab: ‘Dia (melakukan itu) untuk melindungi diri (bukan dari hatinya).’ Maka beliau terus menerus mengulangi ucapannya sehingga aku berkeinginan bahwa aku tidak masuk Islam kecuali hari itu.” (Karena Usamah merasa betapa besar kesalahan yang dilakukannya sehingga dengan masuk Islam bisa menghapuskan kesalahan yang terdahulu).
Riwayat ini menunjukkan bahwa di dalam mengamalkan agama Allah I, tidaklah cukup hanya disertai dengan semangat belaka, namun juga haruslah dibarengi dengan ilmu agar nantinya di dalam mengamalkan suatu amalan dilakukan di atas bashirah (ilmu).
Bunuh diri adalah haram
secara mutlak
Riwayat-riwayat yang datang dari Rasulullah r menjelaskan bahwa bunuh diri dengan menggunakan alat apapun merupakan salah satu dosa yang sangat besar di sisi Allah U. Berikut ini hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan tersebut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 5778) dan Muslim (no. 158), dari hadits Abu Hurairah z, beliau berkata: Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi di tangannya, dia (akan) menikam perutnya di dalam neraka jahannam, kekal (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun lalu bunuh diri dengannya, maka dia (akan) meminumnya perlahan-lahan di dalam neraka jahannam kekal dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dia akan jatuh ke dalam neraka jahannam yang kekal (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.”1
2. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Tsabit bin Dhahhak z, bahwa Rasulullah r bersabda:
“Dan barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia disiksa dengan (alat tersebut) pada hari kiamat.”
3.    Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z, berkata: Kami bersama Rasulullah r pada perang Khaibar. Kemudian beliau berkata pada seseorang yang mengaku dirinya muslim: “Orang ini dari penduduk neraka.” Maka ketika terjadi pertempuran, orang tersebut bertempur dengan sengitnya hingga terluka. Lalu dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, yang engkau katakan bahwa dia dari penduduk neraka, sesungguhnya pada hari ini dia ikut bertempur dengan sengitnya, dan dia telah mati.” Rasulullah r menjawab: “Masuk neraka.” Hampir saja sebagian manusia (shahabat, red) ragu (dengan ucapan tersebut). Ketika mereka dalam keadaan demikian, lalu mereka dikabari bahwa dia belum mati akan tetapi terluka dengan luka yang sangat parah. Hingga ketika malam hari,  dia tidak sabar lagi dan bunuh diri. Lalu dikabarkan kepada Nabi r tentang hal tersebut, maka beliau berkata: “Allahu Akbar, aku bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya”, lalu beliau memerintahkan Bilal untuk berteriak di hadapan manusia:
“Sesungguhnya tidaklah ada yang masuk surga kecuali jiwa yang muslim, dan sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan laki-laki yang fajir (berbuat dosa).”
Dalil-dalil di atas, sangat jelas mengharamkan bunuh diri dengan segala macam jenisnya dan dengan cara apapun. Dan inilah yang difahami oleh para ulama rahimahumullah. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Intihar adalah bunuh diri secara sengaja dengan sebab apapun. Dan ini diharamkan dan termasuk dosa yang paling besar.” (Fatawa Islamiyyah, 4/519)
Fatwa ulama tentang bom bunuh diri
Para aktivis pergerakan dari kalangan hizbiyyun yang melakukan amalan hanya bermodal semangat namun tidak memecahkan suatu permasalahan secara ilmiah berdasarkan pandangan yang shahih terhadap Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah r, serta tidak menjadikan ulama rabbani sebagai rujukan, berusaha melakukan pembelaan terhadap amalan yang batil ini. Kalangan ‘ulama’ mereka pun berusaha mendukungnya dengan cara menempatkan dalil meski tentu saja tidak pada tempatnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka merendahkan fatwa ulama yang melarang amalan ini karena termasuk dalam hukum bunuh diri, seraya menyatakan: “Mereka adalah ulama yang tidak mengerti waqi’ (kondisi)”, “Mereka hanya sepantasnya mengurusi masalah haidh dan nifas saja. Adapun dalam masalah jihad, maka ada ulama tersendiri.” Masya Allah!
Dan ternyata yang mereka anggap sebagai ulama adalah para ‘ulama gadungan’ yang memiliki pemikiran Khawarij, Quthbi, Ikhwani seperti Salman Al-’Audah, Sulaiman Al-’Ulwan, Ibrahim Ad-Duwaisy, Sa’id bin Musfir, Yusuf Al-Qardhawi, dan yang semisal mereka. Bahkan di antara mereka ada yang menukilkan ijma’ para ulama tentang bolehnya hal tersebut. Bukankah ini penukilan yang aneh? Bagaimana mungkin terjadi ijma’ dalam keadaan para ulama besar mengingkari perbuatan ini, seperti Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Al-’Allamah Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh (Mufti Saudi Arabia), Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, dan yang lainnya rahimahumullah. (lihat Tahrirul Maqal fi Annahu Intihar Wa Laisa Istisyhad, Abu Muhammad Nashir As-Salafi, hal. 17)
Berikut ini adalah fatwa dari Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t: “Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang berupa intihar (tindakan bom bunuh diri) dengan cara membawa peledak (bom) kepada sekumpulan orang-orang kafir, kemudian meledakkannya setelah berada di tengah-tengah mereka, sesungguhnya ini termasuk bunuh diri, wal-’iyadzu billah (kita hanya memohon perlindungan kepada Allah). Dan barangsiapa yang membunuh dirinya, maka dia kekal dan dikekalkan dalam neraka jahannam selama-lamanya sebagaimana yang terdapat dalam hadits Nabi r. Sebab, bunuh diri semacam ini bukan karena kemaslahatan Islam. Karena ketika dia bunuh diri dan membunuh sepuluh atau seratus atau dua ratus (orang), tidaklah memberi manfaat kepada Islam dengan perbuatan tersebut di mana manusia tidak masuk ke dalam Islam. Berbeda dengan kisah anak muda tersebut.” (Maksudnya adalah kisah Ash-habul Ukhdud yang panjang, lihat haditsnya dalam Riyadhush Shalihin hadits no. 30 bab Ash-Shabar, pen).
Dan boleh jadi, yang terjadi musuh justru akan semakin keras perlawanannya dan menjadikan darah mereka mendidih. Sehingga semakin banyaklah kaum muslimin yang terbunuh, sebagaimana perlakuan Yahudi terhadap penduduk Palestina. Jika mati salah seorang dari mereka (Yahudi) dengan sebab peledakan ini dan terbunuh enam atau tujuh orang, maka mereka mengambil (membunuh) dari mereka (muslimin Palestina) -dengan sebab peledakan itu- enampuluh orang atau lebih, sehingga tidak mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin dan tidak bermanfaat pula bagi yang diledakkan di barisan-barisan mereka.
Oleh karena itu, kami melihat bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian manusia berupa tindakan bunuh diri, kami anggap bahwa hal itu adalah membunuh jiwa tanpa hak dan menyebabkan masuknya ke dalam neraka, wal-’iyadzu billah. Dan pelakunya bukanlah syahid. Namun jika seseorang melakukan itu dengan anggapan bahwa hal tersebut boleh, maka kami berharap agar dia selamat dari dosa. Adapun bila dianggap syahid, maka tidak demikian. Sebab, dia tidak menempuh cara untuk mati syahid. Dan barangsiapa yang berijtihad dan dia salah, maka baginya satu pahala.” (Syarah Riyadhush Shalihin, 1/165. Lihat pula Tahrir Al-Maqal hal. 23-24)
Hukum menerobos sarang musuh
Banyak terjadi kesalahpahaman tentang riwayat-riwayat yang terdapat dalam hadits Nabi r dan para shahabatnya berkenaan tentang masalah ini, disebabkan ketidaktepatan mereka dalam menempatkan nash-nash tersebut sesuai proporsinya. Akibatnya, mereka tidak bisa membedakan antara hukum bom bunuh diri dengan menyerang ke barisan musuh/ sarang musuh hingga mati. Dalam masalah ini telah terjadi tiga kubu:
- Pertama, adalah kubu yang membawa nash-nash tentang menyerang ke dalam barisan musuh kepada bolehnya melakukan bom bunuh diri, sebagaimana yang dipahami oleh para hizbiyyun dari kalangan Ikhwanul Muslimin dan selainnya.
- Kedua, adalah kubu yang menganggap bahwa seluruhnya adalah tindakan bunuh diri, termasuk pula menyerang ke sarang musuh hingga mati. Ini dipahami oleh sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah tapi jahil dan tidak mampu menempatkan dan membedakan antara dua keadaan.
- Ketiga, dan ini adalah kubu yang benar, yang membedakan antara kedua hukum disebabkan karena kondisi yang memang berbeda. Kondisi kedua dilakukan dengan cara sebagian (pasukan) masuk ke daerah musuh lalu bertempur hingga terbunuh di tangan musuh, bukan meledakkan tubuh sendiri. Kondisi ini merupakan amalan yang disyariatkan berdasarkan dalil-dalil yang akan disebutkan berikut perkataan para ulama.
Di antara dalil disyariatkannya amalan tersebut:
1. Tentang tafsir firman Allah:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai rang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195)
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (4/72) dari Aslam Abu ‘Imran At-Tujibi, dia berkata: Ketika kami berada di daerah Romawi di mana mereka mengerahkan pasukan besar, keluarlah kaum muslimin setara (jumlah mereka) atau lebih untuk menghadapinya. Yang memimpin pasukan dari Mesir adalah ‘Uqbah bin ‘Amir sedangkan pasukan lainnya dipimpin oleh Fudhalah bin ‘Ubaid. Maka salah seorang dari kaum muslimin menerobos masuk ke barisan Romawi hingga berada di tengah-tengah mereka. Maka berteriaklah manusia dan berkata: “Subhanallah, dia telah melemparkan dirinya ke dalam kebinasaan.” Maka berdirilah Abu Ayyub Al-Anshari z berkata: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah mentakwil ayat ini dengan penakwilan semacam ini. (Padahal) sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan kami kaum Anshar, di saat Allah telah memuliakan Islam dan semakin banyak para penolongnya, maka sebagian kami berbisik terhadap sebagian lainnya tanpa sepengetahuan Rasulullah r: ‘Sesungguhnya harta kita telah terlantar dan sesungguhnya Allah telah muliakan Islam dan semakin banyak penolongnya. Maka (alangkah baiknya) sekiranya kita memperbaiki perekonomian kita dan menata kembali apa yang telah terlantar.’ Kemudian Allah U menurunkan firman-Nya tersebut kepada Rasulullah r sebagai bantahan terhadap apa yang kami katakan. Maka kebinasaan (yang dimaksud) adalah memperbaiki perekonomian dan menatanya lalu meninggalkan peperangan.” Maka Abu Ayyub senantiasa berjihad di jalan Allah sampai beliau dikuburkan di Romawi. (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad Fi Asbabin Nuzul no. 34)
2. Dan lihat pula penafsiran para ulama dalam menafsirkan firman Allah:
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Baqarah: 207)
‘Umar bin Al-Khaththab dan Abu Hurairah c membantah komentar orang yang mengatakan tentang salah seorang yang menerobos masuk di antara dua barisan musuh dengan menyatakan: “Dia telah melemparkan dirinya dalam kebinasaan.” Maka mereka dibantah oleh ‘Umar dan Abu Hurairah dengan firman Allah tersebut:
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 5/303 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra, 9/46)
3. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 2805) dan Muslim (no. 3523) dari Anas bin Malik z berkata: Pamanku Anas bin An-Nadhr tidak ikut serta dalam perang Badr, maka ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak ikut sejak perang pertama di mana engkau memerangi musyrikin. Sekiranya Allah memberi kesempatanku hadir dalam memerangi musyrikin, maka Allah akan melihat apa yang akan aku perbuat!” Maka ketika pecah perang Uhud dan kaum muslimin kalah, ia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku berudzur padamu dari apa yang dilakukan mereka ini (yaitu larinya kaum muslimin dari medan pertempuran) dan aku berlepas diri kepadamu dari apa yang dilakukan mereka ini (kaum musyrikin).” Lalu Anas bin An-Nadhr maju dan bertemu Sa’ad bin Mu’adz lalu berkata: “Wahai Sa’ad bin Mu’adz, jannah (surga), demi Rabb An-Nadhr, sesungguhnya aku mencium baunya di bawah kaki Gunung Uhud”. Kata Sa’ad bin Muadz: “Aku tidak mampu berbuat sepertinya, wahai Rasulullah.” Anas bin Malik berkata: “Lalu kami menemukannya dengan 80 lebih luka berupa tebasan pedang, tombak, dan lemparan panah. Dan kami menemukannya telah dicincang oleh kaum musyrikin. Maka tidak seorang pun mengenalnya kecuali saudara perempuannya yang mengenali jarinya.” Anas bin Malik berkata: ‘Kami mengira bahwa ayat ini (Al-Ahzab: 23) turun berkenaan tentangnya’.
4. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim (13/45-46) dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah r ketika bersabda: “Bangkitlah kalian menuju jannah yang seluas langit dan bumi”. ‘Umair bin Al-Humam Al-Anshari berkata: “Wahai Rasulullah, jannah seluas langit dan bumi?” Beliau menjawab: ‘Ya.’ Dia pun berkata: ‘Bakhin, bakhin’ (ucapan yang menunjukkan rasa takjub, pen). Maka bertanya Rasulullah: ‘Apa yang membuatmu mengucapkan ‘bakhin, bakhin’?” Dia menjawab: ‘Tidak wahai Rasulullah, melainkan aku berharap agar (aku) termasuk penduduknya.’ Beliau berkata: ‘Engkau termasuk penduduknya.’ Maka dia (‘Umair) mengeluarkan beberapa buah kurma dari tempatnya lalu memakannya. Kemudian berkata: ‘Jika aku hidup sampai aku memakan buah kurmaku ini, sesungguhnya ini adalah kehidupan yang panjang.’ Lalu diapun melempar kurma yang ada di tangannya kemudian bertempur hingga terbunuh.”
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “(Hadits) ini menunjukkan bolehnya menerobos ke tengah orang-orang kafir dan menghadapi mati syahid. Dan ini boleh,tidaklah dibenci menurut mayoritas para ulama.” (Syarah Shahih Muslim, 13/46)
Dan selain itu, masih ada beberapa dalil yang lain yang menunjukkan bolehnya amalan ini. (Lihat Sunan Al-Kubra karya Al-Baihaqi, bab Man Tabarra’a Bitta’arrudh Bil Qatl, 9/43-44).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Oleh karena itu, para imam yang empat membolehkan seorang muslim menerobos ke dalam barisan orang-orang kafir, meskipun kemungkinan besar mereka (musuh) akan membunuhnya, jika yang demikian mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin.” (lihat Majmu’ Fatawa, 28/540)
Membantah syubhat yang membolehkan bom bunuh diri
Mereka yang berpendapat bolehnya melakukan bom bunuh diri selalu menggunakan hujjah berupa dalil-dalil yang membolehkan menerobos masuk ke sarang musuh, -dan telah jelas bagi para pembaca rahimakumullah (semoga Allah merahmati Anda semua)- perbedaan di antara keduanya. Namun masih ada satu dalil yang juga mereka jadikan sebagai alasan bolehnya amalan ini, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, yang menceritakan tentang Ashabul Ukhdud, di mana seorang pemuda yang bertauhid memberikan petunjuk kepada sang raja yang dzalim tentang cara membunuhnya, yang mendatangkan kemaslahatan yang luar biasa, yaitu masuk Islamnya seluruh penduduk kampung dan meninggalkan agama nenek moyangnya. (Lihat kisahnya dalam kitab Riyadhush Shalihin bab Ash-Shabr, hadits no. 30)
Bantahan terhadap pendalilan mereka dengan kisah ini dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwa hadits ini gambarannya adalah seorang pemuda yang menjadi sebab terbunuhnya dirinya, namun mendatangkan kemaslahatan yang jelas adanya, yaitu masuk Islamnya seluruh penduduk kampung. Berbeda dengan bom bunuh diri yang sama sekali tidak mendatangkan kemaslahatan, bahkan kemudharatan yang semakin besar dengan terbunuhnya kaum muslimin dengan jumlah yang semakin hari kian bertambah. Manakah kemaslahatan? Apakah orang-orang Yahudi berbondong-bondong masuk Islam dengan sebab amalan tersebut? Berfikirlah wahai orang-orang yang berakal.
Kedua: Bahwa pemuda tersebut tidaklah membunuh dirinya sendiri namun dia terbunuh melalui tangan sang raja di saat sang raja mengucapkan kalimat tauhid. Maka, masuk Islamlah seluruh penduduknya. Berbeda dengan bom bunuh diri yang meledakkan dirinya sendiri bersama yang lainnya, dan membunuh dirinya sendiri dengan sengaja. Manakah persamaan itu?
Ketiga: Berbeda antara bunuh diri dengan memberikan petunjuk tentang cara membunuh dirinya, karena pemuda ini mendapatkan ilham akan adanya kemaslahatan yang lebih besar. Adapun bom bunuh diri yang mereka lakukan tidak lebih dari meninggalkan dampak yang lebih buruk yang menimpa kaum muslimin dengan sebab balas dendam yang dilakukan oleh orang-orang kafir Yahudi terhadap kaum muslimin yang lemah. Ditambah lagi kurangnya ilmu yang mereka miliki serta tersebarnya kebid’ahan, kemaksiatan, dan jauhnya mereka dari ilmu As-Sunnah. (Lihat Ar-Raddu ‘ala Mujizil Intihar, Mahir bin Zhafir Al-Qahthani, hal. 6-7).
Wallahul musta’an.

1 Tidak ada dalil dalam hadits ini bagi Mu’tazilah dan Khawarij bahwa pelaku dosa besar keluar dari Islam dan kekal di neraka, karena hadits ini jika tidak berkenaan dengan orang yang menghalalkan maksiat maka menunjukkan bahwa itulah hukuman yang pantas baginya. Hanya saja Allah I dengan rahmat-Nya menetapkan bahwa seseorang yang mati sebagai muslimtidak akan kekal di neraka sebagaimana dalam dalil-dalin lain, atau untuk menunjukkan betapa lamanya di neraka (Syarah Shahih Muslim, 2/103-104).

Ketika Untaian Kalamullah Sekedar Jadi Hiasan

Allah menurunkan Al Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi manusia. Agar tujuan ini bisa terealisasi, Al Qur’an tidak bisa hanya sekedar dijadikan pajangan. Sayangnya justru perbuatan ini yang banyak dilakukan manusia. Salah satunya melalui apa yang dinamakan seni kaligrafi.
Bila kita bertandang ke rumah saudara ataupun kenalan, sering kita dapati kaligrafi yang bertuliskan ayat-ayat Al Qur’an, hadits-hadits nabawiyyah ataupun Al-Asmaul Husna. Kaligrafi yang dibuat seindah mungkin ini, sehingga kadang sulit dibaca, biasanya digantung di dinding atau menjadi pajangan di atas meja dan almari, apakah berbentuk ukiran, pahatan ataupun lukisan. Tidak terbatas hanya dalam rumah, kaligrafi juga kita dapatkan sebagai penghias  masjid-masjid, tempat pertemuan kaum muslimin, dan sebagainya. Bahkan penulisan kaligrafi ayat-ayat Al Qur’an dijadikan sebagai ajang lomba dalam MTQ dan semisalnya.
Saking lazimnya, banyak di antara  kaum muslimin yang merasa belum sreg bila tidak  memajang kaligrafi dalam rumah ataupun majelis mereka. Seolah hal ini sebagai ciri keislaman yang membedakan dari rumah dan majelis non muslim. Bahkan mungkin ada di antara mereka yang merasa bahwa perbuatan seperti ini merupakan satu bentuk ibadah kepada Allah I.
Terhadap fenomena yang ada ini, kita katakan kepada saudara kita kaum muslimin: Allah I telah menyempurnakan agama-Nya, sebagaimana Dia nyatakan dalam Tanzil-Nya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian  agama kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian”. (Al-Maidah: 3)
Karena agama ini telah sempurna, maka tidak butuh lagi terhadap penambahan dan tidak pula pengurangan. Rasulullah r sebagai pengemban risalah dari Allah telah amanah dalam menyampaikan seluruh risalah Islam ini, tanpa kecuali.
 
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Nabi r terus menerus menegakkan perintah Allah, orang yang ingin memalingkan (beliau) tidak dapat memalingkan. Beliau juga menyeru kepada Allah tanpa ada seorang pun yang dapat merintangi, sampai akhirnya menjadi terang benderang bumi ini dengan risalah yang beliau bawa setelah sebelumnya dalam keadaan gelap gulita. Menjadi jinaklah (bersatu) hati-hati manusia setelah sebelumnya bercerai berai. Dan berjalanlah dakwah beliau seperti perjalanan mentari di penjuru langit hingga sampailah agamanya sebagaimana sampainya malam dan siang…”. (Miftah Daris Sa’adah, 1/105)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab t berkata dalam kitabnya Al-Ushuluts Tsalatsah mengatakan: “Tidak ada satu kebaikan pun melainkan telah Rasulullah r tunjukkan kepada umatnya dan tidak ada satu kejelekan pun kecuali telah beliau peringatkan umat darinya.”
Menjadikan Al Qur’an dan hadits nabawi sebagai hiasan dalam bentuk kaligrafi, sama sekali tidak ada contohnya dari Rasulullah r, tidak pernah dikenal dan dilakukan oleh para shahabat beliau dan tidak pula oleh orang-orang sesudah mereka dari kalangan para imam yang diberi petunjuk, semoga Allah meridhai dan merahmati mereka semua. Seandainya perbuatan tersebut baik, pasti Rasulullah r telah menganjurkannya dan para shahabat, sebagai manusia yang paling bersemangat dalam melakukan kebaikan, pasti telah mendahului kita dalam berbuat demikian.
 
Untuk memperjelas permasalahan ini, kami nukilkan secara ringkas untuk pembaca fatwa ulama berikut ini:
Allah I telah menurunkan Al Qur’an dengan sifat yang Dia nyatakan dalam ayat-ayat berikut ini:
“Wahai sekalian manusia, sungguh telah datang kepada kalian nasehat (pelajaran) dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an sesuatu yang menjadi penyembuh (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al Qur’an itu tidaklah menambah bagi orang-orang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra: 82)
Allah pun mengutus Nabi-Nya r untuk menjelaskan Al Qur’an dan merinci hukum-hukum yang ada dalamnya agar manusia menjadikan ajaran beliau sebagai bimbingan dalam memahami Kitabullah. Allah nyatakan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Qur’an agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka mau berfikir.” (An-Nahl: 44)
Allah I memerintahkan Nabi-Nya untuk mendakwahkan Islam dan Nabi-Nya r pun menjalankan dengan sebaik-baiknya. Beliau berdakwah di hadapan para shahabatnya, memberikan nasehat dan peringatan. Beliau mengirim surat kepada para raja dan para pembesar, di samping mendatangi secara langsung orang-orang kafir di majelis mereka untuk mengajak kepada Islam. Dari seluruh perjalanan hidup beliau r, tidak pernah diketahui beliau menulis satu surat dari Al Qur’an, atau satu ayat darinya ataupun sebuah hadits atau nama-nama Allah pada lembaran-lembaran atau piringan-piringan untuk digantung di dinding dan di tempat lainnya, dengan tujuan menjadikan sebagai hiasan atau untuk tabarruk (mencari berkah) ataupun dengan maksud sebagai perantara untuk mengingatkan, menasehati dan pelajaran bagi yang melihat dan membacanya.
 
Sepeninggal beliau r, para Al-Khulafa Ar-Rasyidun berpegang dengan petunjuk beliau, demikian pula para shahabat yang lain dan para imam setelah mereka yang dikabarkan oleh Rasulullah r sebagai sebaik-baik generasi. Sama sekali tidak pernah diketahui mereka menulis sesuatu dari Al Qur’an, hadits-hadits nabawiyyah ataupun Al-Asmaul Husna pada lembaran, piringan ataupun pada kain untuk digantung sebagai hiasan di dinding, atau digantung dengan tujuan sebagai peringatan. Padahal mereka adalah orang yang paling paham akan Islam dan paling bersemangat terhadap kebaikan. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam mengamalkannya.
Dengan begitu, jelaslah bagi kita bahwa membuat dan memasang kaligrafi dari ayat Al Qur’an, hadits ataupun Al-Asmaul Husna, dengan tujuan apapun adalah perbuatan yang menyelisihi petunjuk Rasulullah r, para shahabat dan para imam salaf g.
Betapa kita saksikan, surat ataupun ayat Al Qur’an yang dipajang itu tidak diagungkan dengan semestinya. Terkadang bila telah usang terbuang begitu saja, terinjak oleh kaki dan tersia-siakan. Padahal seorang muslim harus mengagungkan Kitabullah dan juga Sunnah Nabi r yang shahih, menjadikannya sebagai menara dan pedoman hidup. Dan pengagungannya bukan dengan dipajang sedemikian rupa, namun semestinya Al Qur’an itu dibaca, dipikirkan, dipelajari, dipahami dan ditelaah keterangannya dari Sunnah Nabi r. Lalu berusaha diamalkan dalam ibadah dan muamalah. Dengan begitu akan tercurah barakah Allah dan terlimpah pahala-Nya, yang hal ini tidak akan didapatkan oleh mereka yang hanya menjadikannya sebagai pajangan.
Satu hal yang patut pula menjadi perhatian bahwa memasang kaligrafi ini merupakan satu bentuk tasyabbuh (meniru) perbuatan orang-orang kuffar dari kalangan Nasrani yang biasa memajang salib di rumah dan majelis mereka untuk membedakan mereka dengan kaum muslimin. Atau seperti orang-orang Hindu yang memiliki kebiasaan menggantung dupa di rumah mereka. Wallahu ta‘ala a‘am bish-shawab.
 
Demikian ringkasan dari fatwa Lajnah Al-Fatawa fi Riasah Idarat Al-Buhuts wal Ifta wad Da’wah wal Irsyad, yang ketika itu masih diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz t dengan wakil beliau Asy-Syaikh Abdurrazzaq ’Afifi.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t dalam salah satu khutbahnya di Masjid Al-Jami‘ul Kabir di ‘Unaizah (1404 H) juga pernah menyinggung masalah ini. Di antaranya beliau katakan:
“Sebagian besar manusia biasa menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al Qur’an di majelis mereka. Aku tidak tahu mengapa mereka melakukan hal tersebut. Bila mereka melakukannya dalam rangka ibadah kepada Allah, maka hal seperti ini adalah kebid’ahan yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulu kita yang shalih. Lalu apakah mereka melakukannya dalam rangka memuliakan Al Qur’an? Maka kita katakan tidak ada yang lebih memuliakan Al Qur’an daripada para shahabat Rasulullah r dan tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Namun sungguh tidak pernah didapatkan mereka ini menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al Qur’an.
Apakah mereka menggantungnya dalam rangka menolak kejelekan dan gangguan setan? Jika demikian, maka perbuatan demikian bukanlah perantara untuk menolak hal tersebut, namun justru dengan membacanya akan diperoleh penjagaan tersebut seperti membaca ayat Kursi1 ketika hendak tidur maka akan diperoleh penjagaan dari Allah dan setan tidak akan mendekat sampai ia berada di pagi hari2.
 
Sesungguhnya cara untuk ber-tabarruk dengan Al Qur’an adalah membacanya dengan sebenar-benar bacaan, melafadzkan dengan lisan, mengimani dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan sebagaimana Allah I berfirman:
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan  bacan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Baqarah: 121)
Demikianlah jalan kaum mukminin yakni dengan membaca Kitabullah, bukan dengan menggantungnya.
 
Adakah mereka yang menggantung kaligrafi bertuliskan ayat Al Qur’an itu menginginkan untuk memperingatkan manusia terhadap Al Qur’an? Ternyata dalam prakteknya, tujuan ini tidaklah tercapai. Engkau bisa menyaksikan mereka yang ada di majelis itu tidak ada yang mendongakkan kepalanya untuk membaca tulisan tersebut, atau ada beberapa gelintir orang yang membacanya namun tidak memikirkan apa yang terkandung di dalamnya.
Ataukah mereka yang berbuat demikian tidak bermaksud apa-apa kecuali sekedar menjadikan kaligrafi itu sebagai hiasan? Maka sesungguhnya tidaklah pantas Al Qur’an itu dijadikan sebagai sesuatu yang bernilai sia-sia, sekedar untuk keindahan pandangan mata. Al Qur’an terlalu mulia kedudukannya daripada hanya sekedar dijadikan hiasan.
 
Kemudian, kita dapati di majelis yang padanya ada kaligrafi Al Qur’an, terkadang dibicarakan di situ perkara laghwi (sia-sia), bahkan terkadang ada ghibah, dusta dan caci maki. Terkadang ada alunan musik dan nyanyian yang haram. Maka perbuatan seperti ini jelas merupakan pelecehan terhadap Kitabullah karena digantungkan di atas kepala hadirin yang sedang tenggelam dalam kemaksiatan kepada Allah.
 
Karena itu aku menyeru kepada segenap saudaraku agar melepaskan kaligrafi yang ada di rumah-rumah dan majelis mereka karena hal itu tidak pantas untuk dilakukan.
Satu hal pula yang harus dijauhi adalah menulis Al Qur’an dengan bentuk yang samar/ tidak jelas sehingga sulit dibaca atau bisa keliru ketika membacanya, karena ingin menonjolkan nilai seni semata. Padahal Al Qur’an bukanlah untuk dijadikan hiasan dan lukisan/ ukiran. Siapa yang padanya ada tulisan demikian hendaklah ia membakarnya atau menghapusnya agar ayat-ayat Allah tidak dijadikan sebagai bahan permainan dan olok-olok.
 
Wajib bagi kita untuk memuliakan Kitabullah dan menjadikannya sesuai tujuan diturunkannya. Ia adalah nasehat, obat penyembuh bagi penyakit yang ada di dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidaklah ia diturunkan untuk dipajang dan dijadikan bagian dari seni lukis, ukir dan pahat. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.“
Demikian fatwa beliau secara ringkas. Semoga kita diberi taufik untuk senantiasa berpegang dengan al-haq.