Pertanyaan tentang siapa diri kita; siapa aku; yang mana jati diri kita sesungguhnya adalah pertanyaan-pertanyaan klasik yang telah menyita perhatian banyak para filosof. Pernyataan tersebut adalah sesuatu yang penting untuk kita lontarkan. Hal itu karena menyangkut tentang eksistensi kita sebagai seorang manusia. Bagaimana mungkin orang hidup bertahun-tahun tetapi tidak mengenal siapa dirinya sesungguhnya?
Dalam sebuah kalam hikmah terkenal --yang banyak disalahartikan sebagai hadis Nabi Muhammad—diungkapkan man ‘arafa nafsah, faqad ‘arafa rabbah. Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhan. Dengan kata lain yang dibalik, siapa yang ingin mengenal Tuhan, maka kenalilah dirinya terlebih dahulu.
Lantas
siapa diri kita sebenarnya. Jika “aku” adalah dikaitkan dengan jasad,
tentu tidak tepat. Seorang Luna Maya, misalnya, bukanlah hanya terdiri
wajahnya yang cantik. Meskipun wajahnya tiba-tiba tersiram air keras,
dan membuat wajahnya jadi hancur berantakan, tetaplah ia dikatakan
seorang manusia yang bernama Luna Maya, ia tidak berubah jadi seekor
kambing. Jadi dengan demikian, jati diri seseorang tidaklah berkaitan
erat dengan fisiknya.
Apakah
jati diri manusia dikaitkan dengan otaknya? Hal ini juga tampaknya
tidak tepat. Einstein sekalipun otaknya yang cerdas itu diambil dari
jasadnya yang sudah mati, ia tetaplah seorang manusia bernama Einsten.
Ia tidak berubah menjadi robot.
Apakah
jati diri manusia dikaitkan dengan kedudukannya? Ah, hal itu juga tidak
tepat. Soekarno tetaplah seorang manusia, meskipun kekuasaannya sebagai
presiden “dirampas” oleh Soeharto dengan semana-mena melalui
akal-akalan Supersemar. Meskipun Soekarno tidak lagi jadi presiden, ia
tetaplah seorang manusia bernama Soekarno yang memiliki ciri khas
tertentu.
Apakah
jati diri manusia juga berdasarkan nama? Ah, tidak juga. Coba kita
tanyakan pada Shakespeare. Ia jawab, “Apa arti sebuah nama?!” Meskipun,
seorang Imam Samudera memiliki beberapa nama, misalnya, ia tetaplah
merujuk kepada seseorang tertentu yang kita kenal sebagai seorang
teroris Bom Bali I.
Lantas,
gimana dong? Apakah manusia dikaitkan dengan nyawanya? Tampaknya ini
juga kurang tepat. Seorang Nabi Muhammad meskipun nyawanya sudah tidak
lagi menyatu dengan jasadnya, ia tetaplah seorang nabi yang dipuja oleh
seluruh orang Islam di seantero jagad. Ia tetaplah merujuk kepada
seseorang yang telah membuat sejarah besar di muka bumi yang dikemudikan
dinobatkan oleh Michael H. Hart sebagai nomor satu di antara para tokoh
yang pernah ada di dunia.
Apakah
eksistensi manusia ditentukan pula oleh perbuatannya? Hidup adalah
perbuatan, kata Sutrisno Bachir beriklan di berbagai media massa. Apa
betul? Mari kita cek. Andaikan Sutrisno Bachir tidak melakukan sesuatu,
misalkan ia tidak berkampanye, apakah lantas ia tidak menjadi seorang
Sutrisno Bachir lagi? Tentu tidak kan. Ia tetaplah apa adanya, dengan
atau tanpa berbuat sesuatu.
Mungkin,
ini yang terakhir. Apakah manusia dengan hati nuraninya? Lho, hati
nurani itu yang mana? Ini juga pertanyaan yang rumit. Hati nurani,
menurutku pemahamanku yang ilmunya sejengkal, adalah berkaitan dengan
sesuatu unsur dalam diri seseorang yang membuatnya bisa membedakan mana
yang benar mana yang salah. Hati nurani adalah panduan ilahiah yang
ditanamkan Tuhan dalam diri manusia. Karena itulah, Nabi Muhammad
bersabda, “Ada sesuatu di dalam manusia yang jika ia baik, maka baiklah
seluruh dirinya. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh dirinya.
Sesuatu itu adalah hati nurani.” Nah hati nurani itulah yang harus kita
pelihara dan jaga agar ia tetap terus menjadi panduan ilahiah yang
senantiasa menerangi jalan hidup kita.
Ah,
terus terang, aku juga masih bingung. Mari kita merenung lagi. Yang
jelas, bagiku, manusia memiliki hati nurani, jasad, nyawa, nama,
kedudukan tertentu, dan mampu melakukan perbuatan sendiri. Jadi manusia
memang makhluk unik. Ia harus berbuat untuk kebaikan, dipandu oleh hati
nuraninya. Perbuatan baik seorang manusia pasti akan membuatnya menjadi
seseorang yang berharga di dunia dan akhirat. Perbuatan jahat akan
membuatnya menjadi orang yang sengsara di dunia dan akhirat. Salah satu
hadis Nabi yang sangat kupercayai hingga hari ini adalah, “Orang yang
terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar